SETELAH GAMAWAN PERGI

Oleh: Bustami Narda

Kini, H. Gamawan Fauzi, SH, MM telah pergi. Dia ke Jakarta mengemban tugas baru yang dipercayakan Presiden SBY seagai Menteri Dalam Negeri RI  dalam kabinet Indonesia Bersatu II untuk periode 2009-2014, yang diumumkan Presiden SBY didampingi Wapres Boediono di uruitan 5 di Istana Merdeka tadi malam.

Kini, H. Gamawan Fauzi, SH, MM telah pergi ke Jakarta, buat melaksanakan tugas yang lebih besar, dari tugas yang diberikan rakyat Sumbar kepadanya selama ini, selaku seorang Gubernur Sumbar periode 2005-2010. Dia segera akan meninggalkan  kursi orang nomor satu bumi Sumatra Barat, setelah tadi malam resmi bergabung dalam kabinet SBY-Boediono bersama 34 orang putra terbaik Indonesia, lainnya.

Agaknya, taklah terlalu urgen kalau kita membicarakan Gamaan Fauzi di kabinet sana, karena kita sudah harus rela melepasnya dengan penuh rasa syukur dan bangga, dan betrterimakasih kepada Presiden SBY-Boediono yang sudah berkenan memberikan kepercayaan sebagai orang pertama menjadi Mendagri dari Sipil di republik ini semenjak Indonesia merdeka.

Maksud saya, mungkin lebih menarik untuk Sumbar, apabila kita berbicara tentang provinsi ini ke depan, setelah Gamawan Fauzi meninggalkan daerah ini selaku Gubernur Sumbar.

Tentang Gamawan selaku seorang Mendagri, tentang Kabinet Indonesia Bersatu, tentang kombinasi orang partai dan orang profesional, orang birokrat  dalam kabinet SBY-Boediono, biarlah orang Jakarta saja yang membicarakannya lebih rinci dan luas.

Tentang Sumbar setelah tak lagi dipimpin Gamawan, jelaslah perlu dipikirkan, direnungkan dan diperbincangkan, dalam upaya menjadikan daerah ini jauh lebih baik lagi dibandingkan ketika Gamawan memimpinnya.

Sekaitan dengan itu, ada beberapa hal yang mungkin perlu menjadi bahan kajian daerah ini ke depan. Di antaranya, tentang upaya menjadikan Marlis Rahman yang selama ini seorang Wakil Gubernur mendampingi Gamawan, menjadi Gubernur yang penuh dukungan dari seluruh pihak, mulai dari pihak yang berada di kabinet rumah bagonjong sampai kepada berbagai pihak lainnya, sehingga profesor yang mantan Rektor Unand Padang ini dapat lebih menggeliatkan lagi pembangunan daerah ini ke depan, terutama dalam tenggang waktu yang tersisa satu tahun ini lagi.

Selanjutnya, tentang Gubernur dan Wagub yang akan memimpin Sumbar lima tahun ke depan nanti, dari hasil Pilkada Sumbar tahun 2010 nanti. Dalam Pilkada ini nanti, agaknya Sumbar tak lagi sekadar mencari seorang Gubernur seukuran Gamawan, tetal harus mendapatkan seorang Gubernur yang jauh melebihi Gamawan.

Artinya, Gubernur Sumbar mendatang, harus mampu mengalahkan kemampuan dan keberhasilan yang dicapai Gamawan Fauzi dalam segala hal. Sebab, dengan demikian sudah barang tentu Sumbar akan memiliki lompatan-lompatan keberhasilan yang jauh lebih hebat lagi daripada lompatan-lompatan keberhasilan yang dicapai Gamawan selama empat tahun belakangan ini.

Gamawan boleh saja pergi ke Jakarta. Gamawan boleh saja meninggalkan asal tanah kelahirannya demi tugas dan pengabdian yang lebih besar, tetapi Sumbar tak boleh jalan di tempat, apalagi kalau sempat mundur setelah ditinggalkan Gamawan.

Karena itu, Pilkada Sumbar mendatang sungguh sebuah Pilkada yang amat penting artinya bagi kelangsungan Sumbar ke depan. Karena Pilkada ini merupakan Pilkada yang sangat penting artinya dan boleh dikatakan amat istimewa karena baru kali ini Gubernur Sumbar yang diangkat menjadi Menteri ketika sedang menjabat(suatu penghargaan yang amat tinggi nilainya), tentu memerlukan analisis yang dalam, memerlukan pertimbangan yang matang dan memerlukan pemikiran yang jauh dari emosional sesaat dalam menentukan seorang Gubernur dan Wagub. Ini, terutama tentu tertuju kepada Parpol yang akan menentukan tokoh yang bakal diusungnya, tertuju kepada tokoh-tokoh masyarakat yang akan memberikan pedoman kepada masyarakat dalam menentukan sikapnya dan tertuju kepada para elite lainnya yang punya pengaruh dalam menentukan seorang yang akan menjadi Gubernur dan Wagub Sumbar ke depan.

Namun yang jelas, Sumbar ke depan harus lebih baik, harus lebih mampu lagi mencapai lompatan-lompatan keberhasilan yang fenomenal terhadap kemajuan Sumbar selanjutnya kelak.

Untuk Gamawan Fauzi, masyarakat Sumbar tentu wajar bersyukur dan merasa bangga(bukan berarti sombong), karena Gubernurnya telah memperoleh tempat yang demikian terhormat, sebagai seorang pengabdi yang agung untuk masyarakat Bangsa Indonesia. Semoga !****

IBU DESMAWATI: “SAYA BERSYUKUR BERHASIL SELAMAT DARI GEMPA”

“Tak ajal berpantang mati”, itulah kata-kata yang tepat untuk Ibu Desmawati(36 th), yang sudah tak sedikitpun lagi punya harapan akan selamat dan tetap hidup, ketika berjuang dari cengkraman maut menyelamatkan diri dari lantai dasar pusat perbelanjaan Sentral Pasar Raya (SPR) Padang, saat gempa berkekuatan 7,6 SR mengguncang bumi Ranah Minang, Rabu 30 September lalu.

Ibu Desmawati adalah pemilik toko Debe Mustika, yang terletak satu di lantai dasar dan satu lagi di lantai 2 SPR, Padang. Seperti biasanya, sekitar pukul 17.00 Wib sampai 18.00 Wib, Ibu Des, demikian panggilan akrab istri Kepala Dinas Sosial dan Tenaga Kerja(Sosnaker) Kota Padang Panjang, Drs. Bustami Narda inimulai menghitung hasil jual beli seharian, yang ia mulai dari toko di lantai dasar.

Pada hari Rabu sore naas itu,   sekitar pukul 17.10 Wib Ibu Des turun ke lantai dasar dari tokonya di lantai 2, guna menghitung uang hasil jual beli hari itu oleh karyawannya Lina. Tokonya yang di lantai dasar memiliki karyawan satu orang, Lina. Sedangkan tokonya di lantai 2 memiliki 3 orang karyawan; Yanti, Epi dan Fina.

Ibu Des melangkah dengan senyum khasnya menuju lantai dasar turun lewat tangga yang berada di atas eskalator ke lantai 3. Sesampai di lantai dasar menuruni tangga tersebut, dia melangkah menuju tokonya yang berjarak sekitar 50 meter melewati sejumlah toko.

Tanpa ada tanda-tanda akan datang bahaya apapun, sekitar 10 meter menjelang sampai di tokonya, Ibu Des dikejutkan oleh guncangan yang begitu kuat. Begitu mengetaui ada gempa, yang ditandai dengan guncangan yang demikian hebat diiringi suara gemuruh bagaikan deru pesawat mau terbang dari landasannya yang benar-benar mencanak anak telinga, Ibu Des langsung berbalik berlari menuju tangga darurat yang berada sekitar 10 meter dari tempatnya berdiri arah ke timur SPR. Dia berlari bersama ratusan orang lainnya yang sama-sama menuju tangga darurat tersebut. Menurut Ibu Des, yang berlari menuju tangga darurat ini, umumnya orang yang biasa tinggal di SPR tersebut, seperti pemilik toko, para karyawan toko dan karyawan SPR. Sedangkan orang yang datang berbelanja ke sana, hampir tak ada yang tahu tangga darurat tersebut, dan tentu saja mereka lari tak tentu arah, dan pada umumnya mereka lari menuju pintu depan yang cukup jauh.

Begitu tiba di pintu tangga darurat, ia langsung berlari naik ke atas di tengah-tengah dentuman-dentuman kepingan tembok yang berjatuhan dari lantai tiga bagaikan hujan lebat ditambah kaca-kaca yang jatuh bagaikan bunyi guruh amat menakutkan. Sambil berlari di jalan sempit dan tangga berliku-liku itu Ibu Des terus membaca nama Allah sembari menangis.

Setelah sekitar satu setengah meter menjelang sampai ke mulut pintu tangga darurat yang berada di lantai 2 itu, kaki Ibu Des dirasakannya tak kuat lagi melangkah karena guncangan gempa semakin kuat. Dia serasa mau terpelanting ke dinding-dinding tembok tersebut. Sambi tegtap berzikir, Ibgu Des berhenti dengan cara bergantung ke besi di pinggir tangga. Begitgu dia berhenti, seorang ibu sekitar 40 tahun berbadan agak gemuk langsung maju ke depan ingin melangkah keluar. Tapi begitu dia melangkah satu langkahg di depan ibu Des, langsung jatuh kepingan tembok sekitrar sebesar bantal dan menimpa kepalanya. Dia terkapar di hadapan Ibu Des. Tak lama, maju melangkah satu orang ibu lagi, namun begitu berada di depan Ibus langsung ditimpa oleh kepingan tembok yang berjatuhan bagaikan hujan lebat. Ibu itu terkapar pula dengan kedua tangannya seperti ayam dipotong menggelepar-gelepar. Melihat dua orang tergeletak tersebut, orang banyak yang lainnya langsung berbalik lari ke bawah. Saat itulah ibu Des mengaku merasa sudah jelas akan mati. Dia ingat pesan orang tuanya, kalau akan mati sebaiknya membaca shahadat. Dia baca beberapa kali sambil membaca Allahuakbar. Begitu dia selesai membaca syahadat, dia merasakan guncangan berhenti namun kepingan tembok dan kaca-kaca tetap juga berjatuhan. Kemudian dia beranikan melangkah keluar pintu menuju keluar. Sebelum melangkah Ibu Des memasang niat dalam hatinya, bahwa jika selamat, dia akan melakukan puasa 5 hari berturut-turut.  Mujur tiba pada ibu Des, ketika dia melangkah keluar tak jatuh kepingan tembok yang besar dan yang jatuhnya menimpa punggung dan pinngganya hanya sebesar-besar kotak korek api. Namun begitu dia tiba di luar, pintu tersebut langsung tertutup oleh tumpukan kepingan tembgok yang jatuh bergemuruh sebesar-besar bantal dan karung plastik putih. Ibu Des langsung beranjak beberapa meter dari pintu darurat itu untuk melakukan sujud syuku ke tanah.

“Sungguh saya pada saat inilah merasakan rahmat Allah swt yang sangat besar dan sangat ajaib. Di tengah-tengah harapan hidup saya tak ada sedikitpun lagi, ternyata Allah swt memperlihatkan kekuasaannya. Dia hentikan tembok besar-besar berjatuhan ketika sauya lewat”, kata ibu Des dengan air mata berlinang menengis ketika diwawancarai kemarin.

Selanjutnya dia ingat karyawannya yang entah hidup entah mati, Yanti, Lina dan Epi. Fina hari ini libur karena pulang kampung ke Pasaman. Beberapa saat kemudian, dia berhasil menemukan ketiga karyawannya. Mereka berempat berangkulan sambil menangis.

Setelah jelas selamat, Ibu Des belum tenang karena memikirkan anaknya empat orang di rumah, di Perumahan Permata Mas Lubuk Buaya dan suaminya Bustami Narda di Padang Panjang yang belum tahu nasibnya. Hubungan komunikasi putus total.

Ibu Des bergegas mencari Angkot. Ada satu Angkot ke Labor, dia naiki segera. Sesampai di Labor, dia naik ojek ke rumahnya. Jam 19.00 Wib baru dia bertemu anaknya. Namun baru bisa bertemua suaminya setelah sekitar jam 02030 Wib, setelah Bustami Narda tiba di rumah lewat perjalanan ke Maninjau karena jalan lewat Silaing putus total. “Semoga musibah seperti ini tak terulang lagi”, tutup Desmawati mengakiri penuturannya.***

Bustami Narda dan istri

“KETIKA RAMADHAN BERAKHIR”

Oleh: Bustami Narda

Hari ini, adalah hari terakhir umat Islam melaksanakan ibadah puasa untuk bulan Syawal 1430 H. Hari ini, merupakan hari terakhir kesempatan melaksanakan ibadah puasa bagi umat Islam di tahun ini. Hari ini, adalah hari penantian terakhir 1 Syawal  Syawal tahun ini bagi datangnya hari raya Idul Fitri besok pagi, yang merupakan hari kemenangan bagi umat Islam yang mampu berjuang melawan hawa nafsu selama sebulan penuh.

Apabila dikaitkan kehadiran Ramadhan tahun ini dengan fenomena kehidupan berbangsa, bernegara dan bermasyarakat di tanah air Indonesia akhir-akhir ini, agaknya sungguhlah sangat tepat bulan suci kali ini dimaknai sebagai bulan introspeksi diri, bulan evaluasi dan bulan renungan bagi warga bangsa ini.

Semenjak beberapa waktu terakhir ini, Indonesia telah melintasi sejumlah liku dan kelok perjalanan hidup yang cukup fenomenal, baik yang tergolong tragis maupun yang bersifat dramatis, baik yang sifatnya menyedihkan maupun yang termasuk menggembirakan hati.

Kita baru saja selesai menyelenggarakan Pemilihan Umum, Pemilihan Presiden-Wakil Presiden dan sejumlah Pemilihan Kepala Daerah yang terbilang sukses, meskipun ada juga ketidakpuasan karena masyarakat masih ada yang menilai pemilihan-pemilihan itu diwarnai kecurangan di sana sini.

Kita sepertinya akhir-akhir ini tak putus-putusnya ditimpuk musibah demi musibah, mulai dari pesawat yang berjatuhan, bencana alam seperti gempa bumi yang menyebabkan banyaknya jatuh korban karena tanah longsor begitu gempa mengguncang bumi. Belum lagi bencana tenggelamnya kapal di mana-mana, yang tak sedikit merenggut nyawa dan harta benda. Ditambah lagi oleh bahaya kebakaran, kecelakaan lalu lintas darat yang tak  terhitung lagi jumlahnya.

Dengan datangnya Ramadhan tahun ini, segala bentuk musibah dan keberhasilan yang terjadi itu tadi, agaknya patutlah kita maknai, sehingga ketika Ramadhan ini berakhir, mampu menjadi suatu kesimpulan yang berarti bagi kehidupan berbangsa, bernegara dan bermasyarakat ke depan, di bumi persada ini.

Pemaknaan segala fenomena yang terjadi tersebut dikaitkan dengan bulan suci ini, taklah cukup hanya dengan acara serimonial, dengan cara bersalaman, dengan cara berkirim SMS dan kartu lebaran ucapan selamat lebaran dan sejenisnya.

Lebih jauh dari itu, pemaknaan yang perlu lagi dilakukan adalah bagaimana menyadarkan diri, tentang laku langkah yang dilakukan negeri ini selama ini, baik oleh para elite bangsa secara nasional, sampai ke daerah-daerah  provinsi, kabupaten/kota terus ke nagari-nagari atau ke kampung-kampung kecil terpencil sekalipun maupun oleh masyarakat sendiri.

Penyadarannya adalah dengan cara menghitung-hitung, merenung-renung, dengan hati nurani yang tak mau dan pandai berdusta, tentang seberapa besarkah keikhlasan yang dilakukan untuk orang lain, untuk masyarakat banyak jika dibandingkan kedustaan, fitnah, menjelek-jelekkan orang lain dan melakukan perbuatan lain di mulut lain di hati, pepat di luar pancung di dalam, di wajah menangis di hati memaki. Ini bisa elite, baik pejabat pemerintahan, eksekutif, legislatif maupun yudikatif dan bisa juga diperbuat ole kalangan masyarakat sendiri, baik LSM, tokoh masyarakat, pengusaha dan masyarakat kebanyakan lainnya.

Bukan tak mungkin selama ini ada pejabat pemerintahan yang seari-hari  pidatonya selalu menyebut ‘demi rakyat’, tetapi dalam kenyataan secara diam-diam kebijakannya menyengsarakan rakyat. Bukan tak mungkin selama ini kalangan masyarakat ada yang berbicara bahwa semua aktivitasnya demi kepentingan rakyat, tetapi dalam kenyataan perbuatannya diam-diam mengambil untung untuk kepentingan pribadi dengan cara mengibuli rakyat. Bahkan mungkin saja ada yang menipu ke sana ke mari, dengan cara berlagak seperti benar-benar pejuang  bagi kepentingan rakyat.

Salah satu contoh, para pejabat pemerintahan kita dalam merembukkan anggaran yang kegunaanya untuk rakyat, baik APBD maupun APBN, yang seharusnya dilakukan benar-benar mencerminkan kepentingan rakyat, masih kita lihat jauh bertolak belakang dari kondisi kehidupan rakyat yang dibicarakannya. Rapat yang sebenarnya bisa diadakan di kantor, mengingat rakyat masih banyak yang diam di rumah gubuk dan berhujan berpanas di ladang atau di sawah, dan bahkan masih ada yang susah mencari makan sesuap pagi sesuap petang, tetapi mereka tega mengadakan rapat di hotel-hotel mewah yang tak sedikit harus mengeluarkan biaya.

Anehnya lagi, sudahlah hotelnya mewah, bertarif amat tinggi, dicari pula yang letaknya jauh dari tempat bertugas, sehingga  isa memamah dana besar untuk perjalanan dinas, untuk biaya beli BBM, ransum dan seabrek tetek bengek lainnya.

Kalau saja rakyat tahu banyak tentang fenomena seperti ini, betapalah kecewanya mereka, karena mereka selalu menganggap pemimpinnya taklah sedikitpun berjiwa demikian. Mencari-cari jalan untuk mengeruk uang rakyat buat dimasukkan ke dalam kantong pribadi.

Dan kalau musim pemilihan tiba, begitu Ramadhan datang, orang-orang yang ingin mengambil dan menduduki kursi empuk, saling bergeduru memperlihatkan wajah, memperkenalkan diri dan menjaja-jajakan kelebihan-kelebihan tanpa sedikitpun mau mengemukakan kelemahan, baik melalui spanduk, poster, berita-berita dan lain sebagainya. Semua  yang berkeinginan untuk menjadi pejabat tersebut saling berebut mengatakan bahwa dialah yang sangat pro rakyat. Bahkan, seakan-akan setiap detak jantungnya, setiap helaan napasnya, semuanya untuk rakyat, dan seakan tak ada lagi untuk anak dan istrinya termasuk untuknya sendiri.

Setelah nanti terpilih, semuanya tak berbeda banyak dengan sumpah gula-gula. Sebelum terpilih menyembah-nyembah kepada rakyat, seakan-akan mau mencium bahkan menjilat telapak kaki rakyat. Namun setelah terpilih, isi kepalanya bagaimana agar bisa mengelabui rakyat.

Sebelum terpilih, dicari-cari kelemahan orang yang sedang berkuasa, dan jika sulit mencarinya dibuat-buatkan dengan harapan rakyat membencinya dan berharap kepada si calon yang sedang berusaha merebut kursi kekuasaan tersebut. Namun setelah terpilih, lagak dan laku langkahnya menghancurkan hati rakyat berlipat-lipat jika dibandingkan orang yang sedang digantikannya itu.

Orang-orang yang berwatak seperti ini, agaknya terlah paham pula dengan kondisi rakyat yang tak mampu lama mengingat kebaikan dan keburukan seseorang. Jadi, tak ada salahnya kata mereka mendekati rakyat di saat memerlukannya saja. Kalau jauh-jauh hari, mereka khawatir rakyat cepat lupa. Orang-orang ini agaknya paham pula dengan kondisi kekinian rakyat, yang cepat kagum dengan orang yang suka mengemukakan kelebihannya, walaupun belum tentu semuanya benar. Masyarakat sering terpedaya dengan “ota” orang yang suka membusungkan dada, ketimbang pembicaraan orang yang apa adanya, atau suka merendah. Rakyat kita masih senang dengan orang yang berbeda antara poerkataan dengan perbuatannya, yang suka pepat di luar pancung di dalam, yang tak ikhlas dari mulut sampai ke hati, ketimbang orang yang benar-benar jujur. Pada akhirnya, mereka jugalah yang menanggungkan akibatnya.

Kini, konon kabarnya di daerah-daerah yang tak lama lagi akan melangsungkan Pilkada, rakyat di sana telah kembali didatangi oleh orang-orang yang ingin mengambil dan  menduduki kursi kekuasaan  tersebut dengan berbagai penampilan yang pada intinya berupaya menarik hati rakyat. Bukankah orang yang tak menyodor-nyodorkan besar kemungkinan jauh lebih ikhlas dan tulus niatnya untuk rakyat ketimbang yang menyodor-nyodorkan diri tersebut ? Namun sayang, rakyat kita masih banyak yang suka lupa, dan orang-orang yang suka menyodor-nyodorkan diri ini mengambil kesempatan dari sisi kelupaan rakyat ini.

Sekali lagi pertanyaanya, apakah ini telah membuktikan sama atau tidaknya antara pembicaraan dan penampilan yang selalu berorientasi kepada rakyat dengan  realita yang dipraktekkan ? Mudah-mudahan dengan datangnya Ramadhan tahun ini, akan bisa memberikan jawabannya dengan tepat.

Para pejabat pemerintahan selalu berujar di forum-forum penting  tentang perlunya persatuan dan kesatuan, kerukunan, tetapi dalam kenyataannya masyarakat masih melihat para pemimpinnya, para elitenya, para tokohnya berantam, saling menuding, saling mencaci maki di mana-mana ? Sudahkah sama antara yang dia lontarkan dengan yang ia lakukan ? Semua ini, diharapkan Ramadhan akan mampu memaknainya.

Jadi, ketika Ramadhan kini telah berakhir, semua malaikat di arasy sana semoga turut menadahkan tangan, memohon kepada Yang Maha Kuasa, agar warga Bangsa dan Negara Republik Indonesia menjadi warga yang bisa untuk diteladani bangsa lain karena kebaikannya, bukan jadi sepadan karena keburukannya. Makna puasa berupa kejujuran, keikhlasan dan kebersihan jiwa, semoga mampu memaknai kehidupan berbangsa, bernegara dan bermasyarakat di negeri ini. Dan semoga Ramadhan tahun ini mampu memberi makna lebih bagi kemaslahatan Bangsa dan Negara RI ke depan. Minal aidhin walfaizin. Mohon ma’af lahir dan bathin !***

PERANAN PERS DALAM PEMBANGUNAN KOTA PADANG PANJANG DILIHAT DARI PERSPEKTIF UNDANG-UNDANG NOMOR 40 TAHUN 1999

1.1  Judul : Peranan Pers dalam Pembangunan Kota Padang Panjang Dilihat Dari

Perspektif Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999.

1.2 Latar Belakang

Berakhirnya era Orde Baru yang diktator tahun 1998, yang digantikan oleh era reformasi yang ditandai dengan demokrasi, membuat fenomena dari dunia pers di Negara Republik Indonesia bergeser dari yang sebelumnya terkekang kepada dunia pers yang bebas. Pergeseran perkembangan dunia pers ini ditandai dengan lahirnya Undang-undang Nomor 40 Tahun 1999 Tentang Pers, menggantikan Undang-undang Nomor 21 Tahun 1982 Tentang Perubahan atas Undang-undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 1966 Tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pers.

Seperti dijelaskan dalam Kamus Lengkap Bahasa Indonesia, Karangan Indrawan WS, Penerbit Lintas Media Jombang, diktator adalah berarti, “Kekuasaan yang tak terbatas”. Dengan ini, ada beberapa indikator yang dapat membuktikan bahwa Orde Baru adalah orde diktator, sebagai berikut : Pertama, penguasa bebas melakukan apa saja yang diinginkannya, tanpa perlu memperhatikan batasan-batasan kewenangannya. Kedua, penguasa bisa sewenang-wenang bertindak, tanpa mempedulikan aturan yang ada, apabila ada hal-hal yang menurutnya bisa mengganggu kelanggengan kekuasaannya. Ketiga, dengan dalih stabilitas keamanan, penguasa di era ini bisa mencabut Surat Izin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP) suatu media massa, apabila dia menilai akan pemberitaannya menjurus pada kritikan terhadap penguasa, dan beberapa hal lainnya.  Banyak media yang mengalami pencabutan SIUPP di era ini. Antara lain Majalah Tempo, Tabloid Detik dan beberapa media lain.

Kalau diperbandingkan antara diktator dengan demokrasi, sungguh jelas sekali perbedaannya. Jika Indrawan WS dalam Kamus Lengkap Bahasa Indonesia  yang diterbitkan Lintas Media Jombang memberikan pengertian dikator  adalah kekuasaan yang tak terbatas, maka dalam kamus yang sama Indrawan WS menjelaskan bahwa demokrasi adalah berarti,” Pemerintahan rakyat oleh rakyat dan untuk rakyat”.  Kalau pada era kekuasaan yang dikendalikan oleh pemerintahan yang dikator penguasa bisa berbuat bebas sesuai dengan keinginannya dan hanya berpegang pada prinsip bagaimana agar kekuasaan pemerintahannya selalu langgeng dan tetap bertahan, pada kekuasaan yang dikendalikan pemerintahan demokrasi, penguasa dalam menjalankan pemerintahan selalu berpegang teguh kepada prinsip untuk kepentingan rakyat dan tunduk serta patuh kepada ketentuan yang berpihak kepada rakyat.

Untuk lebih memperjelas tentang perbandingan antara demopkrasi dan diktator di sini, dapat  dikemukakan di sini pendapat Prof. DR. Moh. Mahfud MD, S.H., S.U., dalam bukunya berjudul,” Demokrasi dan Konstitusi di Indonesia. Studi Tentang Interaksi Politik dan Kehidupan Ketatanegaraan” yang diterbitkan penerbit Rineka Cipta pada halaman 19, yang menyatakan bahwa demokrasi mempunyai arti penting bagi masyarakat yang menggunakannya sebab dengan demokrasi hak masyarakat untuk menentukan sendiri jalannya organisasi negara dijamin.  Oleh sebab itu, menurutnya hampir semua pengertian yang diberikan untuk istilah demokrasi ini selalu memberikan posisi penting bagi rakyat kendati secara operasional implikasinya di berbagai negara tidak selalu sama. Berpedoman kepada pendapat Prof. DR. Moh. Mahfud MD, S.H., S.U. ini, maka dapat dikatakan bahwa otoriter adalah kebalikan dari demokrasi[7].

Undang-undang Nomor 40 Tahun 1999 telah membuat pers Indonesia berada pada tataran pers yang memiliki kemerdekaan sebagaimana yang telah diimpikan selama berpuluh-puluh tahun oleh rakyat Indonesia. Pers Indonesia yang selama berpuluh-puluh tahun terkekang, yang antara lain karena adanya keharusan memiliki SIUPP, yang sewaktu-waktu bisa saja dicabut oleh penguasa apabila dinilai dapat mengganggu kelanggengan kekuasaannya, dengan dalih mengganggu ketertiban umum, dengan  lahirnya Undang-undang Nomor 40 Tahun 1999, SIUPP tidak berlaku lagi untuk penerbitan sebuah media massa.

Artinya, penguasa tidak lagi bisa membredel pers dengan dalih apapun juga. Pers sudah bisa menghirup udara kemerdekaan, sesuai dengan prinsip-prinsip kehadiran sebuah pers di Negara demokrasi. Di samping itu, dengan lahirnya Undang-undang Nomor 40 Tahun 1999, wartawan telah bisa bebas memilih organisasi profesi pers, sehingga tidak lagi satu-satunya Persatuan Wartawan Indonesia(PWI) organisasi wartawan.

Apabila ditelusuri kembali ke belakang, kebebasan pers yang lahir melalui Undang-undang Nomor 40 Tahun 1999 ini, adalah merupakan wujud nyata dari keinginan pasal 28, ayat 1 Undang-Undang Dasar 1945, yang berbunyi, “ Kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan Undang-undang”.

Undang-Undang Dasar 1945, khususnya pasal 28, telah dengan tegas menyatakan bahwa kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dan lisan dan tulisan dijamin oleh Negara. Kalau masih ada kekangan dalam menyuarakan hati nurani rakyat melalui pers, berarti kemerdekaan mengeluarkan pikiran dengan  tulisan berarti belum lagi dapat diwujudkan.

Kalau belum dapat diwujudkan, berarti Bangsa Indonesia belum lagi memakai Undang-Undang Dasar 1945 secara murni dan konsekwen, terutama dari sisi kemerdekaan menikmati kebebasan pers.

Kemerdekaan menikmati kebebasan pers ini sungguh sangat penting artinya dalam kawasan yang lebih luas daripada sekadar memenuhi keinginan rakyat Indonesia semata, tetapi sekaligus juga telah menjadi kebutuhan bagi masyarakat dunia. Karena itu, kalau Negara Indonesia tidak memberikan kebebasan pers ini kepada rakyatnya, Indonesia akan tersisih dari pergaulan dunia. Karena itu, lahirnya Undang-undang Nomor 40 Tahun 1999, sekaligus telah dapat menyahuti keinginan masyarakat dunia.

Pers yang memiliki kemerdekaan untuk mencari dan menyampaikan informasi juga sangat penting untuk mewujudkan Hak Asasi Manusia yang dijamin dengan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor XVII/MPR/1998 tentang Hak Asasi Manusia, yang antara lain  menyatakan bahwa setiap orang berhak berkomunikasi dan memperoleh informasi sejalan dengan Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hak Asasi Manusia Pasal 19 yang berbunyi:” Setiap orang berhak atas kebebasan mempunyai dan mengeluarkan pendapat; dalam hal ini termasuk kebebasan memiliki pendapat tanpa gangguan, dan untuk mencari, menerima, dan menyampaikan informasi dan buah pikiran melalui media apa saja dan dengan tidak memandang batas-batas wilayah”.

Dalam konteks ini, maka dapat dilihat bahwa kebebasan pers sungguh sangat penting artinya bagi seluruh warga masyarakat, tanpa ada kecualianya, terutama dalam upaya meningkatkan pembangunan di segala bidang. Sebab, wujud dari pencapaian pembangunan dalam sebuah bangsa adalah pencerdasan bangsa itu sendiri. Sebuah bangsa akan bisa cerdas apabila rakyatnya memilki ilmu pengetahuan. Ilmu pengetahuan akan bisa diperoleh seluruh rakyat dalam sebuah bangsa apabila bangsa tersebut memberikan kebebasan kepada rakyatnya dalam memperoleh informasi. Karena informasi yang paling banyak itu bisa diperoleh melalui pers, dengan alas an pers memilik profesi mencari, mengumpulkan dan menyebarkan informasi, maka kebebasan pers dalam sebuah bangsa mutlak harus dapat diciptakan.

Bilamana dalam suatu bangsa atau dalam suatu kelompok masyarakat sekecil apapun masih ada keterkekangan informasi atau tidak tercipta kebebasan pers, akan sangat sulit mencapai target pembangunan dalam bangsa dan kelompok masyarakat tersebut.

Lebih tragisnya lagi, kalau saja masih ada keterkekangan pers dalam suatu bangsa atau kelompok masyarkat sekecil apapun juga, berarti pada bangsa dan kelompok masyarakat tersebut telah terjadi penghilangan terhadap hak asasi manusia.

Selama kebebasan pers terbelenggu di Negara Kesatuan Republik Indonesia, baik di era Orde Lama maupun di era Orde Baru, selama itu pulalah hak asasi manusia turut terbelenggu di negeri ini.

Namun di sisi lain, tidak pula dapat ditutup mata, bahwa semenjak lahirnya Undang-undang Nomor 40 Tahun 1999, kebebasan pers yang terkesan tidak lagi ada batasnya, telah membuat sebagian orang memanfaatkannya untuk hal-hal yang merugikan pihak lain.

Dengan kebebasan pers yang sama sekali tidak lagi ada aturan yang mengontrolnya, masyarakat menjadi resah karena pemberitaan pers. Ini disebabkan penerbitan pers dan perekrutan wartawan tak lagi ada seleksinya.

Orang yang sama sekali tidak punya latar belakang pers, dengan lahirnya Undang-undang Nomor 40 Tahun 1999 boleh mendirikan media. Orang yang sama sekali tidak memiliki latar belakang pers, tanpa ada aturan yang mengatur perekrutannya, dia boleh saja memiliki kartu pers.  Dia boleh saja membanggakan diri bahwa dia adalah seorang wartawan.

Fenomena ini membuat pemberitaan pers menjadi sangat sulit membedakan mana yang berita benar-benar objektif dan mana pula yang berita hanya sekadar informasi sekadar untuk melepaskan sakit hati, atau hanya sekadar untuk menjelek-jelekkan orang lain.

Undang-undang Nomor 40 Tahun 1999 seakan-akan telah menjadi alat untuk memanfaatkan kesempatan menerbitkan pers dan menjadi wartawan bagi sebahagian orang, yang tanpa mempedulikan ketentuan-ketentuan hukum lainnya.

Misalnya, poin 4 Kode Etik Wartawan Indonesia mengatakan, ”Wartawan  Indonesia tidak menyiarkan informasi yang bersifat dusta, fitnah, sadis dan cabul, serta tidak menyebutkan identitas korban kejahatan susila.”

Namun demikian, dengan lahirnya Undang-undang Nomor 40 Tahun 1999, kebebasan pers telah dapat diwujudkan di Negara kesatuan Republik Indonesia secara menyeluruh, mulai dari tingkat pusat, provinsi, kabupaten/kota sampai ke tingkat kelompok masyarakat paling kecil.

Khusus di kabupaten/kota, sebagai daerah yang memiliki hak otonomi daerah, kebebasan pers yang ada saat ini benar-benar dapat dirasakan manfaatnya, terutama dalam mewujudkan pembangunan kabupaten/kota bersangkutan.

Lebih khusus lagi, untuk Kota Padang Panjang, kebebasan pers sungguh sangat terasa dampaknya bagi pembangunan di kota ini, terutama apabila dikaitkan dengan keberadaan kota ini sebagai kota pendidikan, di mana tingkat kecerdasan masyarakatnya sudah tergolong tinggi. Di samping itu, sekaligus sangat terasa pula dampaknya kelahiran Undang-undang Nomor 40 Tahun 1999 bagi Kota Padang Panjang, apabila dikaitkan dengan keberadaan kota tersebut yang sangat egaliter karena kota ini terkenal sebagai Kota Serambi Mekah yang merupakan gudangnya ulama dan tempat ulama-ulama besar tingkat nasional dan internasional pernah berkiprah dan menuntut ilmu.

Dalam sebuah kota yang merupakan kota pendidikan, terutama pendidikan agama dan gudangnya ulama-ulama besar seperti Kota Padang Panjang, kebebasan pers sungguh sangat terasa dampaknya.

Bagi masyarakat Kota Padang Panjang, kebebasan mendapatkan informasi sama besar artinya dengan kebebasan berdemokrasi, karena sehari-hari masyarakatnya lebih banyak berkiprah sebagai ulama, pendidik, mahasiswa, mahasiswi, santri, pelajar dan politisi.

Berdasarkan latar belakang di atas, maka disusunlah proposal penelitian ini  dengan judul, ”Peranan Pers Dalam Pembangunan Kota Padang Panjang Dilihat Dari  Perspektif Undang-undang Nomor 40 Tahun 1999”.

1.3 Identifikasi Masalah

Penelitian mengenai Peranan pers dalam pembangunan Kota Padang Panjang dilihat dari sisi perspektif  Undang-undang Nomor 40 Tahun 1999 ini akan menjawab pertaanyaan-pertanyaan, sebagai berikut :

  1. Bagaimana pengaturan pers dalam menempatkan perannya terhadap pembangunan Kota Padang panjang menurut Undang-undang Nomor 40 Tahun 1999 ?
  2. Bagaimana peranan pers dalam pelaksanaan pembangunan Kota Padang Panjang di era kebebasan pers sekarang ?
  3. Apa hambatan dan kendala yang ditemui dan apa pula upaya yang ditempuh dalam mengatasi hal tersebut ?

1.4 Tujuan Penelitian

Penelitian  tentang peran pers dalam pembangunan Kota Padang Panjang  dilihat dari sisi perspektif Undang-undang Nomor 40 Tahun 1999 ini mempunyai tujuan, sebagai berikut :

  1. Untuk mengetahui sejauh mana peranan pers dalam pembangunan Kota Padang Panjang dilihat dari sisi perspektif Undang-undang Nomor 40 Tahun 1999.
  2. Untuk mengetahui dampak peran pers dalam era kebebasan pers sekarang ini dalam pembangunan Kota Padang Panjang.
  3. Untuk mengetahui hambatan dan kendala yang ditemui dan upaya yang dilakukan untuk mengatasi hal tersebut.

1.5 Kegunaan Penelitian

Sebagaimana penelitian-penelitian yang dilakukan pada umumnya, penelitian yang dilakukan ini mempunyai dua kegunaan, sebagai berikut :

  1. Kegunaan secara teoritis. Diharapkan penelitian ini akan dapat memberikan sumbangan pemikiran terhadap pengembangan ilmu pengetahuan secara hukum tentang pers, khususnya tentang peranan pers terhadap pembangunan dilihat dari sisi perspektif Undang-undang nomor 40 Tahun 1999 di Kota Padang Panjang.
  2. Kegunaan Secara Praktis. Hasil penelitian ini diharapkan akan menjadi sumbangan penulis bagi pelaksanaan Undang-undang Nomor 40 Tahun 1999 dan kaitannya dengan pembangunan di Kota Padang Panjang.

1.6 Kerangka Teoritis dan Konseptual

Kerangka Teoritis

Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), didirikan berdasarkan atas hukum. Pancasila sebagai dasar Negara dan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 adalah landasan konstitusional negara.

Dengan demikian, berarti Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah negara yang menempatkan hukum pada posisi yang sangat penting. Pada intinya, pemerintahan  negara ini dijalankan berdasarkan atas hukum.

Pada setiap hukum dikesampingkan, pada saat itu pulalah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) ini  akan goncang, seperti biduk yang oleng digoncang ombak di tengah lautan  luas, yang ditempati 200 juta lebih jiwa manusia.

Pengalaman telah membuktikan, beberapa kali pemerintahan   Negara Indonesia tidak dijalankan berdasarkan atas hukum, baik di era Orde Lama maupun di era Orde Baru, semuanya berakhir dengan goncangan yang sangat memilukan. Era Orde Lama berakhir dengan tragis. Ini disebabkan hukum tidak lagi menjadi acuan perjalanan bangsa. Contohnya, Presiden diputuskan seumur hidup, yang benar-benar menyalahi Undang-Undang Dasar 1945. Pancasila diperas menjadi Trisila dan Komunis yang benar-benar bertentangan dengan Pancasila dibiarkan tumbuh dan berkembang.

Era Orde Baru pun berakhir dengan tragis. Pemimpin kuat di era Orde Baru, Soeharto, berhenti dari jabatannya setelah didesak gelombang unjuk rasa selama berhari-hari. Ini adalah lagi-lagi disebabkan karena Pemerintahan Negara tidak lagi dijalankan berdasarkan atas hukum. Pemilihan Umum yang dilaksanakan di era Orde Baru, tidak lagi berjalan jujur dan adil. Peradilan dijadikan barang dagangan. Korupsi merajalela. Pada pokoknya Korupsi Kolusi dan Nepotisme (KKN) menjadi pemandangan biasa di tengah-tengah masyarakat.

Gerakan yang muncul kemudian dan menjadi arus utama gerakan rakyat adalah gerakan yang menyerukan reformasi. Laksana genderang yang ditabuh bertalu-talu, suara anti korupsi, kolusi dan nepotisme menggema di mana-mana. Tiga kata yang disulam menjadi KKN itu dialamatkan kepada Presiden Soeharto. Penilaian rakyat terhadap Pak Harto sebagai pemimpin tidak berhasil memberantas korupsi bahkan sebaliknya membiarkan penyakit ini merajela di lingkungan pemerintahan pusat dan daerah, oknum pejabat tertinggi sampai kepala desa di level paling bawah, termasuk keluarga dan kroninya.[8]

Dengan ini telah terbukti, bahwa setiap era kekuasaan pemerintahan negara ini dijalankan keluar dari koridor hukum, akan berakhir dengan tragis dan sekaligus akan berakhir dengan kesengsaraan rakyat. Karena itu, apabila dikaitkan dengan keberadaan pers di Indonesia di era reformasi sekarang, maka kebebasan pers yang dicapai saat ini, haruslah kebebasan pers yang berada dalam koridor hukum. Bukan kebebasan pers yang tanpa ada aturan. Apabila kebebasan pers tidak lagi berada dalam koridor hukum yang berlaku, liar tanpa ada kendali sama sekali, maka kebebasan pers ini akan berubah menjadi mudarat dan akan berakhir pula secara tragis nanti. Dengan demikian, peranan hukum bagi perjalanan pers yang bebas sekarang ini sungguh sangat penting artinya. Sebab, pers yang tidak diatur oleh hukum akan menjadi liar dan akan memakan korban di tengah-tengah masyarakat.

Karena itu, sebagaimana dikatakan oleh Prof. Oemar Seno Aji, SH, bahwa adalah sangat esensial untuk mengembangkan pengertian hokum tentang pers yang bebas dan bertanggungjawab, yang kesemuanya menjadi tanggungjawab dan kewajiban para penegak hokum. Sedangkan ilmu hokum dan yurisprudensi dapat ikut serta dalam pengembangannya, khususnya jika terdapat gejala bahwa perundang-undangan sendiri tidak menjajarkan diri dengan perkembangan masyarakat.[9]

Jadi, hukum bagi pers benar-benar esensial. Pers tidak bisa dilepaskan dari hukum. Pers yang lepas dari hukum, sama dengan keberadaan seekor harimau di rimba raya. Di samping dia akan menerkam mangsanya, bisa juga dia sendiri yang terkena jerat atau masuk perangkap. Sebuah pers yang hidup tanpa kendali, dia bisa hidup seperti seorang raja pembunuh yang sadis dan bisa juga bangkrut sendiri karena tidak dipercaya oleh pembaca.

Apabila kita perhatikan dari sisi hukum, hukum di negara Indonesia sudah mengatur sedemikian rupa dalam hal pers. Dalam ketentuan-ketentuan hukum pidana yang ada kaitannya dengan media massa, sudah jelas-jelas diatur tentang pers dalam pasal-pasalnya. Dalam pasal 155 ayat (1) dikatakan, “Barang siapa menyiarkan, mempertunjukkan atau menempelkan tulisan atau lukisan di muka umum yang mengandung pernyataan perasaan permusuhan, kebencian atau penghinaan terhadap Pemerintah Indonesia, dengan maksud supaya isinya diketahui atau lebih diketahui oleh umum, diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun enam bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah”.

Di sini jelas-jelas ditegaskan bahwa di dalam menyiarkan sebuah informasi yang bisa menimbulkan rasa permusuhan, kebencian atau penghinaan akan berhadapan dengan hukum dan akan mendapatkan sanksi ancaman hukum cukup berat.

Pada sisi lain, Pers yang meliputi media cetak, media elektronik dan media lainnya pada dasarnya juga merupakan salah satu sarana untuk mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan. Oleh sebab itu, agar pers dapat berfungsi secara maksimal sebagaimana diamanatkan pasal 28 UUD 1945 tersebut, maka perlu dibentuk Undang-undang tentang pers. [10]

Pada dasarnya, esensi kegiatan menulis sebuah berita bagi pekerja pers atau wartawan adalah untuk melaporkan seluk-beluk sebuah peristiwa yang telah, sedang atau aklan terjadi. Melaporkan di sini, artinya adalah menuliskan apa yang dilihat, didengar, atau dialami seseorang atau sekelompok orang. Berita itu ditulis wartawan adalah sebagai rekonstruksi tertulis dari apa yang terjadi. Fenomena ini tidak jauh berbeda dengan laporan untuk media elektronik seperti radio dan televisi.

Menurut Ashadi Siregar dkk, peristiwa perlu diberitakan paling tidak berdasarkan dua alasan, yaitu untuk memenuhi tujuan politik keredaksian suatu media massa atau memenuhi kebutuhan pembaca. [11]

Apabila diperhatikan, dalam Undang-Undang Dasar 1945 sudah jelas-jelas mengatakan pada pasal 28, yakni” Kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan undang-undang. Pada pasal 28 F UUD 1945 dikatakan, “Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia”.

Sebagaimana dinyatakan dalam UUD 1945 di atas, setiap warga negara memiliki hak untuk memperoleh informasi, untuk menyebarkan informasi dan semua itu harus ada aturannya, agar tidak sampai ada hak orang lain terganggu oleh orang-orang yang mempergunakan haknya tersebut.

Dalam hal ini, Undang-undang Hak Asasi Manusia(HAM) telah mengatur sedemikian rupa, sehingga tidak ada seorangpun yang bisa berbuat sewenang-wenang kepada orang lain.

Pada Bab II Asas-Asas Dasar, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Aasasi Manusia dikatakan, “ Negara Republik Indonesia mengakui dan menjunjung tinggi hak asasi manusia dan kebebasan dasar manusia sebagai hak yang secara kodrati melekat padanya dan tidak terpisahkan dari manusia, yang harus dilindungi, dihormati, dan ditegakkan demi peningkatan martabat kemanusiaan, kesejahteraan, kebahagiaan, dan kecerdasan serta keadilan.

Dalam hal ini terbukti bahwa hak asasi manusia itu dijamin sepenuhnya oleh negara, sehingga di sisi penyebaran informasi, baik melalui media massa atau pers , di satu sisi wartawan punya hak untuk memperoleh dan menyebarkan informasi, sebaliknya masyarakat memilik hak untuk tidak dirugikan oleh suatu informasi yang beredar di tengah-tengah masyarakat melalui media massa atau pers tersebut.

Selanjutnya Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 40 Tahun 199 tentang Pers, telah mengatur sedemikian rupa tentang kerja pers di Negara Republik Indonesia. Undang-Undang 40 Tahun 1999 ini merupakan acuan bagi pers dalam melakukan pekerjaannya di tengah-tengah masyarakat. Seperti dikemukakan pasal 2 pada Bab II Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999, “Kemerdekaan pers adalah salah satu wujud kedaulatan rakyat yang berasaskan prinsip-prinsip demokrasi, keadilan, dan supremasi hukum.  Pada pasal 3 dikatakan, “ Pers nasional mempunyai fungsi sebagai media informasi, pendidikan, hiburan dan control sosial”. Pasal 5 ayat (1) mengatakan,” Pers nasional berkewajiban memberitakan peristiwa dan opini dengan menghormati norma-norma agama dan rasa kesusilaan masyarakat serta asas praduga tak bersalah”.  Ayat (2), menyatakan”, Pers wajib melayani Hak Jawab”. Ayat (3), mengatakan” Pers wajib melayani Hak Koreksi”.

Dengan demikian, secara teoritis, keberadaan pers di Negara Republik Indonesia tidak bisa sewenang-wenang, tetapi harus tunduk dan patuh kepada ketentuan-ketentuan hukum yang ada. Pada intinya, pers harus mampu memberikan kecerdasaan kepada masyarakat, dan bukan sebaliknya membodohi masyarakat melalui penyajian berita-berita yang tidak memiliki fakta dan melalui berita-berita yang tidak mendidik.

Kerangka Konsepsional

Untuk memudahkan pembahasan, berikut ini diuraikan beberapa pengertian konsepsional dari istilah yang dimaksudkan dalam judul usulan penelitian ini, sebagai berikut :

  1. Peranan adalah langkah kebijakan dan kegiatan yang dilakukan oleh suatu organisasi/badan/orang berdasarkan kedudukannya.
  2. Pers adalah media persuratkabaran, seperti koran, majalah, tabloid, buletin dan sejenisnya, yang berfungsi untuk menyajikan informsi kepada pembaca.
  3. Pembangunan, adalah mendirikan sesuatu atau membina sesuatu untuk kemajuan ke arah yang lebih baik dari sebelumnya.
  4. Perspektif adalah penerapan dari suatu peraturan perundang-undangan di tengah-tengah masyarakat
  5. e. Undang-undang Negara Republik Indonesia Nomor 40 Tahun 1999, adalah Undang-undang yang mengatur tentang pers di Indonesia.

1.7 Metodologi Penelitian

a. Jenis Pendekatan

Penelitian ini merupakan penelitian hukum dengan dilakukannya dengan pendekatan yuridis normatif komparatif yang didukung oleh penelitian yuridis empiris. Penelitian berbentuk yuridis empiris ini dilakukan dengan cara menginventarisasi hukum positif, melakukan sinkronisasi perundang-undangan secara vertikal dan horizontal, penemuan asas-asas hukum yang terkait dengan pengaturan peran dan fungsi pers dalam pembangunan Kota Padang Panjang.

Sedangkan penelitian Yuridis Empiris, dilakukan untuk melihat bekerjanya hukum dalam masyarakat yang terkait dengan praktek pelaksanaan peran dan fungsi pers dalam pembangunan di Kota Padang Panjang.

Selanjutnya, studi perbandingan juga akan dilakukan dalam penelitian ini (comparatif study), yakni membandingkan ketentuan yang ada sebelumnya, yakni Undang-undang Nomor 21 Tahun 1982 dengan Undang-Undang Negara Republik Indonesia Nomor 40 Tahun 1999 Tentang Pers.

b. Sumber Data

Sumber data dalam penelitian ini, terdiri dari data sekunder dan data primer. Sebagai pendukung data skunder, adalah meliputi :

  1. Bahan hukum primer, yakni meliputi: Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor XVII/MPR/1998 tentang Hak Azasi Manusia, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Indonesia, Undang-Undang Negara Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 1966 Tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pers sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Negara Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 1967 dan diubah dengan Undang-undang Nomor 21 Tahun 1982,  Undang-undang Negara Republik Indonesia Nomor 40 Tahun 1999 Tentang Pers.
  2. Bahan hukum sekunder, yang terdiri dari buku-buku, karya ilmiah, dan literatur mengenai hukum tata negara umumnya dan hukum tentang peran dan fungsi pers pada khususnya.
  3. Bahan Hukum Tersier, yakni yang meliputi kamus, ensiklopedi, katalog data primer sebagai pendukung data skunder, yang meliputi hasil wawancara dengan responden yang berkapasitas sebagai pakar dan praktisi di bidang pers, yang berkaitan dengan peranan pers dalam pembangunan umumnya dan peran pers dalam pembangunan di Kota Padang Panjang pada khususnya.

c. Teknik Pengumpulan Data

Data skunder, berupa bahan primer, bahan hukum skunder dan hukum tersier yang berkaitan dengan penelitian ini diperoleh melalui studi dokumentasi (kepustakaan). Sedangkan data primer yang merupakan data pendukung data skunder diperoleh dengan teknik wawancara yang mendalam (depth interview) dan terstruktrur kepada para responden yang merupakan para pakar dan praktisi hukum ketatanegaraan.

d. Analisa dan Penyajian Data

Data yang diperoleh, lalu dianalisis dengan mempergunakan penafsiran hukum dan disajikan dalam bentuk kualitatif.

e.Lokasi Penelitian

Lokasi penelitian adalah pada wilayah Kota Padang Panjang dan pada sejumlah jajaran pers atau yang terkait dengan pers di Provinsii Sumatera Barat.

BAB II

BAB II TINJAUAN TEORITIS DAN HISTORIS

PENYELENGGARAAN PERS INDONESIA

2.1. Tinjauan Teoritis Penyelenggaraan Pers  Indonesia

Sesungguhnya penyelenggaraan pers Indonesia merupakan implelementasi dari bentuk penyelenggaraan demokrasi di Indonesia. Sangat erat hubungan penerapan demokrasi di Indonesia dengan penyelenggaraan pers Indonesia di negara ini.

Dapat dibuktikan, ketika Indonesia berada di era penjajahan, Orla, Orba dan reformasi, sungguh sangat terasa perbedaan maju mundurnya penyelenggaraan pers di Indonesia.

Satu hal yang penting dicatat dalam hal ini, liku perpajalanan perkembangan pers Indonesia, sama seperti negara-negara lain di dunia, sangat dipengaruhi oleh perkembangan politik di negara Indonesia.

Ketika perkembangan perpolitikan pada suatu rezim di Negara Republik Indonesia berjalan secara diktator, pers berjalan dalam kondisi terkekang atau nyaris tidak mampu mengenyam rasa kemerdekaan. Pemberitaan pers diawasi penguasa sesuai dengan kepentingan politik penguasa tersebut. Kalau ada pers yang berani membuat pemberitaan yang tidak sejalan dengan kepentingan politik penguasa rezim tersebut, resikonya sangat besar. Antara lain, bisa saja wartawannya ditahan atau malah bisa sampai kepada pencabutan SIUUP media bersangkutan. Namun ketika perkembangan perpolitikan pada suatu rezim berjalan secara demokratis, maka otomatis pers akan menghirup udara bebas dalam menjalankan profesinya.

Sebab, suasana otoriter suatu era kekuasaan pemerintahan dalam suatu negara akan berdampak kepada pengekangan perjalanan kehidupan pers, dan sebaliknya kalau suasana demokratis yang muncul dalam suatu era kekuasaan pemeriuntahan, akan berdampak kepada terciptanya kebebasan dalam suatu perjalanan dunia pers.

Suatu bukti, ketika Indonesia berada di era Orde Baru yang lebih akrab kepemimpinannya dengan nuansa diktator, pers di negeri ini sungguh berada dalam kekangan. Selama kurun waktu era kekuasaan era Orde Baru, tidak sedikit media yang terkena bredel atau pencabutan SIUUP gara-gara mencoba menulis dengan nada mengoreksi kepemimpinan pemerintahan waktu itu.

Namun ketika Indonesia berada di era reformasi mulai tahun 1998, kebebasan pers sungguh sangat terasa di negara Republik Indonesia. Wartawan dalam mencari dan menyiarkan informasi tidak lagi merasa takut terkena sensor sebelum berita naik cetak. Atau, tidak lagi merasa akan dicari atau ditangkap setelah berita diterbitkan.

Penyebab demikian dominannya pengaruh perkembangan perpolitikan dalam sebuah kekuasaan rezim pemerintahan terhadap pers, adalah karena penguasa merasa perlu mengendalikan pers, mengingat pemberitaan pers amat besar pengaruhnya terhadap pembentukan sebuah opini di tengah-tengah masyarakat.

Donal Shaw dan Max McComb yang terkenal dengan teorinya ‘”Agenda Setting”, yakni sebuah teori yang menggamnbarkan isi media berita memiliki pengaruh pada persepsi publik tentang isu-isu penting, menjelaskan bahwa apa yang menjadi pemberitaan sebagai sampul berita di media berita itu akan menjadi agenda publik (khalayak pembaca), dan cara perancangan atau reka bentuk pada sampul berita media tersebut telah menanamkan peranan penting pembentukan opini publik berkenaan dengan apa yang menjadi penting atau tidak penting untuk diberitakan.[12]

Teori yang mengemukakan bahwa pemberitaan media massa sangat berpengaruh terhadap pembentukan opini, telah membuat penguasa dalam suatu rezim pemerintahan suatu negara merasa perlu mengendalikan media massa.

Penguasa dalam rezim apapun selalu akan merasa berkepentingan dengan pemberitaan pers. Di satu sisi,  pemberitaan pers bisa membuat citra pemerintahan terangkat dan sebaliknya di sisi lain pemberitaan pers pun dapat pula menghancurkan citra pemerintahan.

Karena itulah, pemerintahan di negara manapun di dunia ini, tidak terkecuali di Negara Republik Indonesia, tidak ada yang tidak merasa berkepentingan dengan pemberitaan pers.

Dengan demikian, dalam rezim apapun juga, pemberitaan pers selalu menjadi perhatian serius baginya. Artinya, pengendalian terhadap pemberitaan pers selalu menjadi titik fokus utama pemerintahan.

2.2.1. Etika Pers Yang Bebas dan

Bertanggungjawab.

Sesuai dengan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 Tentang Pers, pada hakekatnya pers Indonesia merupakan pers yang bebas dan bertanggungjawab. Maksudnya, pers Indonesia dalam melaksanakan profesinya memiliki kebebasan yang dijamin oleh undang-undang. Akan tetapi kebebasan tersebut bukan tanpa batas, tetapi dibatasi oleh tanggungjawab yang melekat pada etika kebebasan pers tersebut, yang disebut dengan etika pers. Etika pers inilah yang membuat setiap insan pers bertanggungjawab terhadap berbagai dampak atau akibat dari profesi jurnalistik yang dijalankannya.

Di antara etika pers yang membuat pers itu bebas dan bertanggungjawab adalah sebagai berikut :

  1. Hati nurani. Dengan mempergunakan hati nurani, insan pers dalam melaksanakan profesinya akan mampu memilah,  mana yang baik dan mana yang buruk, mana yang pantas diberitakan mana yang tidak pantas. Hati nurani akan mampu mengukur batas-batas kewajaran sebuah informasi yang dikemukakan seuah media massa kepada publik.
  2. 2. Pancasila. Sebagai dasar negara yang digali dari bumi Indonesia sendiri, nilai-nilai yang ada dalam Pancasila merupakan etika yang mampu menjadikan pers sebagai pers yang bebas dan bertanggungjawab.
  3. 3. Undang-Undang Dasar 1945 Yang Diamendemen. UUD 1945 yang diamendemen, adalah merupakan etika yang harus menjadi etika bagi pers. Sebab pasal demi pasal dalam UUD 45 yang dimaendemen ini

adalah mengandung nilai-nilai moral yang harus dituruti oleh insan pers dalam menjalankan profesinya.

  1. Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 Tentang Pers. Undang-Undang ini adalah aturan yang menjadi ukuran etika bagi insan pers dalam menjalani profesinya. Dengan ini diharapkan wartawan Indonesia tidak saja sekadar menganut prinsip bebas tetapi sekaligus juga harus bertanggungjawab.
  2. Kode Etilk Jurnalistik. Kode etik jurnalistik adalah etika yang secara teknis yang harus dipatuhi insan pers dalam melaksanakan tugas profesinya sehari-hari. Pelanggaran seorang wartawan terhadap kode etik jurnalistik, sungguh sangat memalukan karena kode etik jurnalistik adalah etika wartawan sendiri, yang khusus untuk insan pers yang kegunaannya untuk wartawan dalam menjalankan profesinya.
  3. Kode Etik Wartawan Indonesia(KEWI). Kode Etik Wartawan Indonesia sungguh sebuah rambu-rambu etika wartawan yang harus menjadi pagar pembatas bagi wartawan dalam bertindak sepanjang kegiatannya dalam profesi kewartawanan.
  4. KUHP. Ketentuan-ketentuan yang ada dalam pasal-pasal KUHP yang berkaitan dengan pers, baik secara langsung maupun tidak langsung, akan mem buat wartawan Indonesia menjadi wartawan yang bebas dan bertanggungjawab. Si pelanggalarnya akan berhadapan dengan hukum, sebagai konsekwensi  dari pelanggaran ter5hadap etika pers yang dilakukan seorang insan pers.

2.2.2. Asas-Asas Penyelenggaraan Pers

di Indonesia

Kini sampailah pembahasan kepada asas-asas penyelenggaraan pers di Indonesia. Sebagaimana pada  negara-negara lain di dunia, penyelenggaraan pers di Negara Republik Indonesia tidak terlepas dari berbagai ketentuan yang diatur  menurut peraturan perundang-undangan yang ada dan berlaku di negara ini.

Namun satu hal yang menjadi garisan dalam penyelenggaraan pers bagi suatu negara dalam upaya menyahuti kepentingan negara tersebut, adalah bagaimana agar asas-asas penyelenggaraan pers di negara tersebut mampu menyahuti kepentingan masyarakat.

Artinya, pemberitaan pers harus mampu menjadi pendorong bagi masyarakat untuk semakin menyadari bahwa peranan mereka dalam membangun bangsanya sangat penting.

Pers tidak hanya hadir semata-mata untuk menikmati kebebasan tanpa mempedulikan kepentingan masyarakat dalam arti luas. Pers harus mempergunakan kebebasannya untuk kepentingan masyarakat sebesar-besarnya.

Khusus untuk negara berkembang seperti Negara Republik Indonesia, pers merupakan hal yang amat penting artinya dalam menumbuhkembangkan gelora semangat [13]masyarakat dalam me[14]mbangun bangsa dan negaranya.

Karena melihat demikian besarnya peranan pers di tengah-tengah masyarakat, Ishadi Sutopo KS mengemukakan, bahwa para cendikiawan di bidang komunikasi kata Ishadi Sutopo KS yakin tentang pentingnya arti media massa bagi modernisasi negara-negara sedang berkembang. Mereka mempercayakan pelbagai tugas pada media dan mendasarkan kesimpulan mereka untuk sebagian besarnya atas studi-studi lapangan perihal tingkah laku dan dampak media. 7

Berkaitan dengan ini, masih melihat kepada kepentingan media massa oleh negara berkembang seperti Negara Republik Indonesia, Lucian W. Pye mengemukakan dalam salah satu tulisannya dengan lebih bersifat filosofis, bahwa kecuali kalau masyarakat luas dapat diperkenalkan pada cara-cara berfikir yang baru dan dituntun untuk menerima sikap-sikap yang baru, maka hanya ada sedikit harapan untuk menciptakan kemajuan yang mantap ke arah pembangunan ekonomi, modernisasi masyarakat dan kedewasaan politik.8

Melalui pendapat-pendapat ini, terlihat bahwa penyelenggaraan pers di Indonesia sebagai negara yang masih tergolong kepada negara berkembang, memerlukan koridor-koridor atau ketentuan-ketentuan yang mampu membangkitkan gelora semangat masyarakat untuk turut serta berpartisipasi dalam pembangunan bangsa dan negara.

Namun ketentuan-ketentuan tersebut bukan dalam arti mengekang kebebasan pers. Malahan sebaliknya, ketentuan-ketentuan itulah yang menjadikan pers Indonesia pers yang bebas dan bertanggungjawab.

Sebab dengan adanya ketentuan-ketentuan, sesuai dengan aturan hukum yang ada, kebebasan pers menjadi semakin terjamin, tidak ada lagi yang bisa mengekang. Sebab kalau ada yang mengekang, dia bisa dikategorikan melakukan hal melawan hukum.

Secara teoiritis dapat dikatakan, bahwa pers yang bebas itu bukanlah pers yang tidak berjalan dengan tidak ada aturan. Tetapi sebaliknya pers yang bebas itu adalah pers yang berjalan dengan aturan hukum yang jelas, yang tidak bisa aturan itu diubah sembarangan saja oleh pihak manapun juga, baik oleh pihak penguasa ataupun oleh pihak pers sendiri.

Pers yang berjalan dengan aturan yang jelas, haruslah memiliki asas-asas yang jelas pula, yang bisa dituruti oleh penyelengara pers, sehingga dia tidak berat ke kiri atau ke kanan.

Sebab apabila pers tidak memiliki asas-asas yang jelas, atau apabila penyelenggara pers tidak mau menuruti asas-asasnya, dikhawatirkan pers akan mudah dimanfaatkan berbagai pihak untuk kepentingannya. Misalnya, pers yang tidak memiliki asas atau pers yang tidak memiliki aturan dalam menjalani profesinya, dia akan mudah dimanfaatlkan penguasa untuk kepentingan politiknya atau bisa juga dimanfaatkan orang-orang yang tidak ingin negara ini berjalan dengan baik.

Asas penyelenggaraan pers di Indonesia dapat dilihat dalam berbagai peraturan perundang-undangan yang dimiliki Negara Republik Indonesia karena dasar ataupun tujuan penyelenggaraan pers di Indonesia ada dalam peraturan perundang-undangan tersebut. Antara lain dapat dilihat di sini, sebagai berikut :

1) Praduga tak bersalah. Penyelenggaraan pers di Indonesia berasaskan kepada praduga tak bersalah. Dengan asas praduga tak bersalah, pers dalam memberitakan tentang keterliatan seseorang atau sekelompok orang dan sejenisnya dalam suatu tindakan kejahatan, tidak bisa langsung menvonis. Yang berhak menvonis seseorang, sekelompok orang atau sejenisnya bersalah adalah hakim di pengadilan. Selagi dalam proses hukum, pers hanya bisa memberitakan bahwa yang bersangkutan diduga bersalah.

Apabila sempat pers menvonis seseorang sebagai pelaku pencurian karena mungkin disebabkan dia melihat sendiri atau karena disampaikan oleh sumber yang nyata-nyata telah melihat yang bersangkutan melakukan pencurian melalui pemberitaan pers, kalau nanti hakim memutuskan lain, seperti membebaskan yang bersangkutan karena tidak terbukti bersalah, atau karena sebenarnya bukan dia karena berbagai alasan lainnya yang diterima hakim,  dapat dibayangkan betapa pers telah membuat nama baik seseorang tercemar. Jadi, pers tidak berhak menghakimi seseorang, apakah dia bersalah atau tidak. Karena itu, apapun alasannya, pers harus memegang teguh prinsip asas praduga tak bersalah. Pers hanya dalam kapasitas memberitakan hasil putusan dan bukan punya kewenangan membuat putusan sekaligus memberitakan.

2) Kecerdasan. Penyelenggaraan pers tidak bisa dilepeskan dari kecerdasan. Pers sebagai pihak yang punya tugas menyampaikan informasi kepada masyarakat, sudah barang tentu pers memegang peranan penting dalam hal mencerdaskan masyarakat.

Sebab dengan banyaknya masyarakat mengetahui sesuatu melalui media massa, baik cetak maupun elektronik akibat dsari penyelenggaraan pers, maka masyarakat akan cerdas akibat pers.

Dengan demikian, pers punya peranan penting dalam mencerdaskan kehidupan bangsa. Masyarakat pun punya hak untuk mendapatkan pencerdasan ini. Karena itu, asas pencerdasan merupakan salah satu asas dariu penyelenggaraan pers.

Hal ini dapat dilihat pada Undang-undang Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 1999, Tentang Hak Asasi Manusia, pada Bab II Asas-Asas Dasar, Pasal 2, menyatakan: Negara Republik Indonesia mengakui dan menjunjung tinggi hak asasi manusia dan kebebasan dasar manusia sebagai hak yang secara kodrati melekat pada dan tidak terpisahkan dari manusia, yang harus dilindungi, dihormati, dan ditegakkan demi peningkatan martabat kemanusiaan, kesejahteraan, kebahagiaan, dan kecerdasan serta keadilan.

Selanjutnya dalam undang-undang ini, pada Bab III, Hak Asasi Manusia Dan Kebebasan Dasar Manusia, Bagian Kelima, Hak Kebebasan Pribadi, pasal 23, ayat(2) dikatakan dengan tegas: Setiap orang bebas mempunyai, mengeluarkan dan menyebarluaskan pendapat sesuai hati nuraninya, secara lisan dan atau tulisan melalui media cetak maupun elektronik dengan memperhatikan nilai-nilai agama, kesusilaan, ketertiban, kepentingan umum, dan keutuhan bangsa.

3) Keterbukaan. Keterbukaan merupakan asas penyelenggaraan pers di Indonesia. Dengan keterbukaan ini, masyarakat memiliki hak untuk memperoleh informasi publik.

Dan dengan keterbukaan ini pula, pers memiliki tujuan yang jelas dalam menjalankan profesinya, yakni untuk memberitahukan informasi kepada publik atau masyarakat secara terbuka.

Hal ini bisa dilihat dalam Undang-undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2008, Bab III tentang Hak Dan Kewajiban Pemohon Dan Pengguna Informasi Publik Serta Hak Dan Kewajiban Badan Publik, Bagian Ke4satu tentang Hak Pemohon Informasi Publik, pasal 4, yang menyatakan: ayat (1) Setiap orang berhak memperoleh informasi publik sesuai dengan ketentuan Undang-Undang ini. Ayat (2) Setiap Orang berhak:

  1. melihat dan mengetahui Informasi Publik.
  2. Menghadiri pertemuan publik yang terbukauntuk umum untuk memperoleh Informasi Publik.
  3. Mendapatkan salinan Informasi Publik melalui permohonan sesuai dengan Undang-Undang ini; dan/atau
  4. Menyebarluaskan Informasi Publik sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

2.2. Tinjauan Historis Penyelenggaraan Pers

di Indonesia

2.3.1. Perkembangan Penyelenggaraan

Pers di Indonesia Pada era

Sebelum Merdeka

2.3.1.1. Pers di Era Penjajahan

Belanda

2.3.1.2. Pers di Era Penjajahan

Jepang

2.3.2. Penyelenggaraan Pers di Indonesia

Pada era Kemerdekaan

2.3.2.1. Pers di era Orde Lama

2.3.2.2. Pers di era Orde Baru

2.3.2.3. Pers di era Reformasi

BAB III. PENGATURAN PENYELENGGARAAN

PERS DALAM MELAKSANAKAN

FUNGSINYA DI NEGARA REPUBLIK

INDONESIA

3.2.1.                  Pers Indonesia Dalam Melaksanakan Fungsainya Sebagai Sosial Kontrol

3.2.2.                  Pers Indonesia Dalam Melaksanakan Fungsinya Sebagai Media Pendidikan

3.2.3.                  Pers Indonesia Dalam Melaksanakan Fungsinya Sebagai Media Hiburan

3.2.4.                  Pers Indonesia Dalam Melaksanaan Fungsinya Sebagai Pengemban prinsip Idealis

3.2.5.                  Pers Indonesia Dalam Melaksanakan Fungsinya Dalam Bentuk Bisnis

BAB IV TINJAUAN TENTANG PERANAN PERS

DALAM PEMBANGUNAN DI  INDONESIA

INDONESIA.

4.1. Peranan Pers Dalam Pembangunan

Nasional

4.2. Peranan Pers Dalam Pembangunan di

Daerah Otonom(Kabupaten/Kota)

4.2.1. Peranan Pers Dalam Pembangunan

di Daerah Kabupaten/Kota Pada Era

Orde Lama dan Orde Baru

4.2.2. Peranan Pers Dalam Pembangunan

di Daerah Kabupaten/Kota Pada era

Reformasi

BAB V PERANAN PERS DALAM

PEMBANGUNAN KOTA PADANG

PANJANG DILIHAT DARI

PERSPEKTIF UNDANG-UNDANG

NOMOR 40 TAHUN 1999

5.1. Penyelenggaraan Fungsi Pers Dalam

Pembangunan Kota Padang Panjang

Dilihat  Dari Perspektif Undang-Undang

Nomor 40  Tahun 1999

5.1.2. Dilema Penerapan Undang-Undang

Nomor 40 Tahun 1999

5.1.3. Pengaruh Kebebasan  Pers Dalam

Gerak Pembangunan Kota Padang

Panjang

5.1.4. Pengaruh Otonomi Daerah dan

Kebebasan Pers Dalam Pembangunan

Kota Padang Panjang.

5.1.5. Kesiapan Masyarakat Padang Panjang

Menyikapi Pemberitaan Pers

Dikaitkan Dengan Lahirnya Undang-

Undang Nomor 40 Tahun 1999

5.1.6. Kesiapan Wartawan Dalam

Menyikapi Penerapan Undang-

Undang Nomor 40 Tahun 1999

Dikaitkan Dengan Gerak Langkah

Pembangunan Kota Padang Panjang

5.2. Beberapa Dilema Yang Timbul di Tengah

Masyarakat Kota Padang Panjang Akibat

Kebebasan Pers dan Otonomi Daerah

5.2.1. Pengaruh Tingkat Kecerdasan

Masyarakat Dalam Menyikapi

Pemberitaan Pers Dilihat Dari Perspektif

Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999

5.2.2. Pengaruh Tingkat Kemampuan

Wartawan Dalam Menjalankan Fungsi

Pers-nya Dilihat Dari Perspektif

Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999                             5.2.3. Pengaruh Kesiapan Birokrasi Dalam

Menyikapi Pemberitaan Pers Dilihat

Dari Perspektif Undang-Undang Nomor

40 Tahun 1999

5.2.4. Nilai Positif dan Negatif Terhadap

Pembangunan Kota Padang Panjang

Dengan Lahirnya Undang-Undang

Nomor 40 Tahun 1999

BAB VI PENUTUP

6.1. Kesimpulan

6.2. Saran-Saran

DAFTAR PUSTAKA

Abdul Gafur, Harihari Terakhir Seorang Presiden, Pustaka Sinar Harapan,

Jakarta, 2000

Abdul Rahman Wahid, Melawan Melalui Lelucon, Tempo, Jakarta, 2000

Ahmad Watik Praktiknya dkk, Pandangan dan Langkah Reformasi B.J.

Habibie, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta, 1999

Ashadi Siregar dkk, Bagaimana Meliput dan Menulis Berita Untuk Media

Massa, Penerbit Kanisius, Yogyakarta, 1998

Don Michael Flournoy(Ed.), Analisa Isi Suratkabar-Suratkabar Indonesia, Gadjah Mada University Press, 1989

Fachry Ali, Esai Politik Tentang Habibie Iptek dan Transpormasi Kekuasaan,

Balai Pustaka, Jakarta, 1999

F. Rachmadi, Perbandingan Sistem Pers, PT. Gramedia, Jakarta, 1990

Hasan Shadily dkk, Ensiklopedi Indonesia, Jilid 3, PT. Ikhtiar Baru-Van Hoeve

dan Elsevier Publishing Projects, Jakarta, 1989

Hasan Shadily dkk, Ensiklopedi Indonesia, Jilid 7, PT. Ikhtiar Baru-Van hoeve

dan Elsevier Publishing Project, Jakarta, 1987

Indrawan WS, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia, Lintas Media, Jombang

Ismail Suny, Mencari Keadilan, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1981

Ismail Suny, Pergeseran Kekuasaan Eksekutif Suatu Penyelidikan Hukum

Tata Negara, Aksara Baru, Jakarta, 1986

Larrry King, Seni Berbicara Kepada Siapa Saja, Kapan Saja, Di mana Saja,

PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2006

Legiman Misdiyono, Misteri Operasi Intelijen,Indomedia Publishing,

Jakarta, 2007

Manfred Oepen, Media Rakyat Komunikasi Pengembangan Masyarakat,

P3M, Jakarta, 1988

Moh. Mahfud MD, Demokrasi dan Konstitusi di Indonesia. Studi Tentang

Interaksi Politik dan Kehidupan Ketetanegaraan, Rineka Cipta,

Jakarta, 2003

Mohammad Hatta, Alam Pikiran Yunani, Tintamas, Jakarta, 1986

Nurhuda Adinur dkk, Perhumas Dalam Warna Menyusun Strategi,

Membangun Korporasi & Menjaga Reputasi, BPP perhumas Bidang

Komunikasi, Jakarta, 2004

Prasetyohadi, Keadilan Dalam Masa Transisi, Komisi Nasional Hak Asasi

Manusia, Jakarta, 2001

S.L. Roy, Diplomasi, Rajawali Pers, Jakarta, 1991

Sudirman Tebba, Hukum Media Massa Nasional, Pustaka irVan, Ciputat,

2006

Wina Armada, S.A, Wajah Hukum Pidana Pers, Pustaka Kartini, Jakarta,

1989

Vera Jasini Putri, Kamus Hukum Otonomi Daerah, Friedrich-Naumann-

Stiflung(FNSt), Jakarta, 2003

Yurnaldi, Menjadi Wartawan Hebat, Citra Budaya Indonesia, Padang,

2004

Peraturan Perundang-Undangan

Undang-Undang Dasar 1945 dan Perubahannya

Ketetapan MPR Nomor XVII/MPR/1998 Tentang Hak Azasi Manusia

Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1966 Tentang Ketentuan-Ketentuan

Pokok Pers

Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1967 Tentang Ketentuan-Ketentuan

Pokok Pers

Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1982 Tentang Ketentuan-ketentuan

Pokok Pers

Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 Tentang Pers

Unang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 Tentang Keterbukaan Informasi

Publik


[7] Prof. Dr. Moh. Mahfud MD, S.H. S.U.. Demokrasi dan Konstitusi di Indonesia. Studi Tentang Interaksi Politik dan Kehidupan Ketatanegaraan”, Rineka Cipta, 2001. hlm. 19

[8] Abdul Gafur, Hari-hari Terakhir  Seorang Presiden, Pustaka Sinar Harapan, 2000, hlm 6

[9] Wina Armada, S.A, SH, Pendahuluan oleh Prof. Oemar Seni Aji, SH, Wajah Hukum Pidana Pers, Pustaka Kartini, 1989, hlm 12.

[10] Kata Pengantar Undang-undang Republik Indonesia Nomor 40 Tahun 1999 Tentang Pers, Departemen Penerangan RI, 1999

[11] Ashadi Siregar dkk, Bagaimana Meliput, penerbit Kanisius, 1998, hlm 19

[12] Nurhuda Adinur DKK, Perhumas Dalam Warna, BPP Perhumas Bidang Komunikasi, Jakarta 2004, hlm. 127.

7. Don Michael Flournoy(Ed.), Analisa Isi Surat Kabar – Surat Kabar Indonesia, Gadjah Mada University Press, 1989, hlm.65.

8 Idem.

1.1  Judul : Peranan Pers dalam Pembangunan Kota Padang Panjang Dilihat Dari

Perspektif Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999.

1.2 Latar Belakang

Berakhirnya era Orde Baru yang diktator tahun 1998, yang digantikan oleh era reformasi yang ditandai dengan demokrasi, membuat fenomena dari dunia pers di Negara Republik Indonesia bergeser dari yang sebelumnya terkekang kepada dunia pers yang bebas. Pergeseran perkembangan dunia pers ini ditandai dengan lahirnya Undang-undang Nomor 40 Tahun 1999 Tentang Pers, menggantikan Undang-undang Nomor 21 Tahun 1982 Tentang Perubahan atas Undang-undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 1966 Tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pers.

Seperti dijelaskan dalam Kamus Lengkap Bahasa Indonesia, Karangan Indrawan WS, Penerbit Lintas Media Jombang, diktator adalah berarti, “Kekuasaan yang tak terbatas”. Dengan ini, ada beberapa indikator yang dapat membuktikan bahwa Orde Baru adalah orde diktator, sebagai berikut : Pertama, penguasa bebas melakukan apa saja yang diinginkannya, tanpa perlu memperhatikan batasan-batasan kewenangannya. Kedua, penguasa bisa sewenang-wenang bertindak, tanpa mempedulikan aturan yang ada, apabila ada hal-hal yang menurutnya bisa mengganggu kelanggengan kekuasaannya. Ketiga, dengan dalih stabilitas keamanan, penguasa di era ini bisa mencabut Surat Izin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP) suatu media massa, apabila dia menilai akan pemberitaannya menjurus pada kritikan terhadap penguasa, dan beberapa hal lainnya.  Banyak media yang mengalami pencabutan SIUPP di era ini. Antara lain Majalah Tempo, Tabloid Detik dan beberapa media lain.

Kalau diperbandingkan antara diktator dengan demokrasi, sungguh jelas sekali perbedaannya. Jika Indrawan WS dalam Kamus Lengkap Bahasa Indonesia  yang diterbitkan Lintas Media Jombang memberikan pengertian dikator  adalah kekuasaan yang tak terbatas, maka dalam kamus yang sama Indrawan WS menjelaskan bahwa demokrasi adalah berarti,” Pemerintahan rakyat oleh rakyat dan untuk rakyat”.  Kalau pada era kekuasaan yang dikendalikan oleh pemerintahan yang dikator penguasa bisa berbuat bebas sesuai dengan keinginannya dan hanya berpegang pada prinsip bagaimana agar kekuasaan pemerintahannya selalu langgeng dan tetap bertahan, pada kekuasaan yang dikendalikan pemerintahan demokrasi, penguasa dalam menjalankan pemerintahan selalu berpegang teguh kepada prinsip untuk kepentingan rakyat dan tunduk serta patuh kepada ketentuan yang berpihak kepada rakyat.

Untuk lebih memperjelas tentang perbandingan antara demopkrasi dan diktator di sini, dapat  dikemukakan di sini pendapat Prof. DR. Moh. Mahfud MD, S.H., S.U., dalam bukunya berjudul,” Demokrasi dan Konstitusi di Indonesia. Studi Tentang Interaksi Politik dan Kehidupan Ketatanegaraan” yang diterbitkan penerbit Rineka Cipta pada halaman 19, yang menyatakan bahwa demokrasi mempunyai arti penting bagi masyarakat yang menggunakannya sebab dengan demokrasi hak masyarakat untuk menentukan sendiri jalannya organisasi negara dijamin.  Oleh sebab itu, menurutnya hampir semua pengertian yang diberikan untuk istilah demokrasi ini selalu memberikan posisi penting bagi rakyat kendati secara operasional implikasinya di berbagai negara tidak selalu sama. Berpedoman kepada pendapat Prof. DR. Moh. Mahfud MD, S.H., S.U. ini, maka dapat dikatakan bahwa otoriter adalah kebalikan dari demokrasi[7].

Undang-undang Nomor 40 Tahun 1999 telah membuat pers Indonesia berada pada tataran pers yang memiliki kemerdekaan sebagaimana yang telah diimpikan selama berpuluh-puluh tahun oleh rakyat Indonesia. Pers Indonesia yang selama berpuluh-puluh tahun terkekang, yang antara lain karena adanya keharusan memiliki SIUPP, yang sewaktu-waktu bisa saja dicabut oleh penguasa apabila dinilai dapat mengganggu kelanggengan kekuasaannya, dengan dalih mengganggu ketertiban umum, dengan  lahirnya Undang-undang Nomor 40 Tahun 1999, SIUPP tidak berlaku lagi untuk penerbitan sebuah media massa.

Artinya, penguasa tidak lagi bisa membredel pers dengan dalih apapun juga. Pers sudah bisa menghirup udara kemerdekaan, sesuai dengan prinsip-prinsip kehadiran sebuah pers di Negara demokrasi. Di samping itu, dengan lahirnya Undang-undang Nomor 40 Tahun 1999, wartawan telah bisa bebas memilih organisasi profesi pers, sehingga tidak lagi satu-satunya Persatuan Wartawan Indonesia(PWI) organisasi wartawan.

Apabila ditelusuri kembali ke belakang, kebebasan pers yang lahir melalui Undang-undang Nomor 40 Tahun 1999 ini, adalah merupakan wujud nyata dari keinginan pasal 28, ayat 1 Undang-Undang Dasar 1945, yang berbunyi, “ Kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan Undang-undang”.

Undang-Undang Dasar 1945, khususnya pasal 28, telah dengan tegas menyatakan bahwa kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dan lisan dan tulisan dijamin oleh Negara. Kalau masih ada kekangan dalam menyuarakan hati nurani rakyat melalui pers, berarti kemerdekaan mengeluarkan pikiran dengan  tulisan berarti belum lagi dapat diwujudkan.

Kalau belum dapat diwujudkan, berarti Bangsa Indonesia belum lagi memakai Undang-Undang Dasar 1945 secara murni dan konsekwen, terutama dari sisi kemerdekaan menikmati kebebasan pers.

Kemerdekaan menikmati kebebasan pers ini sungguh sangat penting artinya dalam kawasan yang lebih luas daripada sekadar memenuhi keinginan rakyat Indonesia semata, tetapi sekaligus juga telah menjadi kebutuhan bagi masyarakat dunia. Karena itu, kalau Negara Indonesia tidak memberikan kebebasan pers ini kepada rakyatnya, Indonesia akan tersisih dari pergaulan dunia. Karena itu, lahirnya Undang-undang Nomor 40 Tahun 1999, sekaligus telah dapat menyahuti keinginan masyarakat dunia.

Pers yang memiliki kemerdekaan untuk mencari dan menyampaikan informasi juga sangat penting untuk mewujudkan Hak Asasi Manusia yang dijamin dengan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor XVII/MPR/1998 tentang Hak Asasi Manusia, yang antara lain  menyatakan bahwa setiap orang berhak berkomunikasi dan memperoleh informasi sejalan dengan Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hak Asasi Manusia Pasal 19 yang berbunyi:” Setiap orang berhak atas kebebasan mempunyai dan mengeluarkan pendapat; dalam hal ini termasuk kebebasan memiliki pendapat tanpa gangguan, dan untuk mencari, menerima, dan menyampaikan informasi dan buah pikiran melalui media apa saja dan dengan tidak memandang batas-batas wilayah”.

Dalam konteks ini, maka dapat dilihat bahwa kebebasan pers sungguh sangat penting artinya bagi seluruh warga masyarakat, tanpa ada kecualianya, terutama dalam upaya meningkatkan pembangunan di segala bidang. Sebab, wujud dari pencapaian pembangunan dalam sebuah bangsa adalah pencerdasan bangsa itu sendiri. Sebuah bangsa akan bisa cerdas apabila rakyatnya memilki ilmu pengetahuan. Ilmu pengetahuan akan bisa diperoleh seluruh rakyat dalam sebuah bangsa apabila bangsa tersebut memberikan kebebasan kepada rakyatnya dalam memperoleh informasi. Karena informasi yang paling banyak itu bisa diperoleh melalui pers, dengan alas an pers memilik profesi mencari, mengumpulkan dan menyebarkan informasi, maka kebebasan pers dalam sebuah bangsa mutlak harus dapat diciptakan.

Bilamana dalam suatu bangsa atau dalam suatu kelompok masyarakat sekecil apapun masih ada keterkekangan informasi atau tidak tercipta kebebasan pers, akan sangat sulit mencapai target pembangunan dalam bangsa dan kelompok masyarakat tersebut.

Lebih tragisnya lagi, kalau saja masih ada keterkekangan pers dalam suatu bangsa atau kelompok masyarkat sekecil apapun juga, berarti pada bangsa dan kelompok masyarakat tersebut telah terjadi penghilangan terhadap hak asasi manusia.

Selama kebebasan pers terbelenggu di Negara Kesatuan Republik Indonesia, baik di era Orde Lama maupun di era Orde Baru, selama itu pulalah hak asasi manusia turut terbelenggu di negeri ini.

Namun di sisi lain, tidak pula dapat ditutup mata, bahwa semenjak lahirnya Undang-undang Nomor 40 Tahun 1999, kebebasan pers yang terkesan tidak lagi ada batasnya, telah membuat sebagian orang memanfaatkannya untuk hal-hal yang merugikan pihak lain.

Dengan kebebasan pers yang sama sekali tidak lagi ada aturan yang mengontrolnya, masyarakat menjadi resah karena pemberitaan pers. Ini disebabkan penerbitan pers dan perekrutan wartawan tak lagi ada seleksinya.

Orang yang sama sekali tidak punya latar belakang pers, dengan lahirnya Undang-undang Nomor 40 Tahun 1999 boleh mendirikan media. Orang yang sama sekali tidak memiliki latar belakang pers, tanpa ada aturan yang mengatur perekrutannya, dia boleh saja memiliki kartu pers.  Dia boleh saja membanggakan diri bahwa dia adalah seorang wartawan.

Fenomena ini membuat pemberitaan pers menjadi sangat sulit membedakan mana yang berita benar-benar objektif dan mana pula yang berita hanya sekadar informasi sekadar untuk melepaskan sakit hati, atau hanya sekadar untuk menjelek-jelekkan orang lain.

Undang-undang Nomor 40 Tahun 1999 seakan-akan telah menjadi alat untuk memanfaatkan kesempatan menerbitkan pers dan menjadi wartawan bagi sebahagian orang, yang tanpa mempedulikan ketentuan-ketentuan hukum lainnya.

Misalnya, poin 4 Kode Etik Wartawan Indonesia mengatakan, ”Wartawan  Indonesia tidak menyiarkan informasi yang bersifat dusta, fitnah, sadis dan cabul, serta tidak menyebutkan identitas korban kejahatan susila.”

Namun demikian, dengan lahirnya Undang-undang Nomor 40 Tahun 1999, kebebasan pers telah dapat diwujudkan di Negara kesatuan Republik Indonesia secara menyeluruh, mulai dari tingkat pusat, provinsi, kabupaten/kota sampai ke tingkat kelompok masyarakat paling kecil.

Khusus di kabupaten/kota, sebagai daerah yang memiliki hak otonomi daerah, kebebasan pers yang ada saat ini benar-benar dapat dirasakan manfaatnya, terutama dalam mewujudkan pembangunan kabupaten/kota bersangkutan.

Lebih khusus lagi, untuk Kota Padang Panjang, kebebasan pers sungguh sangat terasa dampaknya bagi pembangunan di kota ini, terutama apabila dikaitkan dengan keberadaan kota ini sebagai kota pendidikan, di mana tingkat kecerdasan masyarakatnya sudah tergolong tinggi. Di samping itu, sekaligus sangat terasa pula dampaknya kelahiran Undang-undang Nomor 40 Tahun 1999 bagi Kota Padang Panjang, apabila dikaitkan dengan keberadaan kota tersebut yang sangat egaliter karena kota ini terkenal sebagai Kota Serambi Mekah yang merupakan gudangnya ulama dan tempat ulama-ulama besar tingkat nasional dan internasional pernah berkiprah dan menuntut ilmu.

Dalam sebuah kota yang merupakan kota pendidikan, terutama pendidikan agama dan gudangnya ulama-ulama besar seperti Kota Padang Panjang, kebebasan pers sungguh sangat terasa dampaknya.

Bagi masyarakat Kota Padang Panjang, kebebasan mendapatkan informasi sama besar artinya dengan kebebasan berdemokrasi, karena sehari-hari masyarakatnya lebih banyak berkiprah sebagai ulama, pendidik, mahasiswa, mahasiswi, santri, pelajar dan politisi.

Berdasarkan latar belakang di atas, maka disusunlah proposal penelitian ini  dengan judul, ”Peranan Pers Dalam Pembangunan Kota Padang Panjang Dilihat Dari  Perspektif Undang-undang Nomor 40 Tahun 1999”.

1.3 Identifikasi Masalah

Penelitian mengenai Peranan pers dalam pembangunan Kota Padang Panjang dilihat dari sisi perspektif  Undang-undang Nomor 40 Tahun 1999 ini akan menjawab pertaanyaan-pertanyaan, sebagai berikut :

  1. Bagaimana pengaturan pers dalam menempatkan perannya terhadap pembangunan Kota Padang panjang menurut Undang-undang Nomor 40 Tahun 1999 ?
  2. Bagaimana peranan pers dalam pelaksanaan pembangunan Kota Padang Panjang di era kebebasan pers sekarang ?
  3. Apa hambatan dan kendala yang ditemui dan apa pula upaya yang ditempuh dalam mengatasi hal tersebut ?

1.4 Tujuan Penelitian

Penelitian  tentang peran pers dalam pembangunan Kota Padang Panjang  dilihat dari sisi perspektif Undang-undang Nomor 40 Tahun 1999 ini mempunyai tujuan, sebagai berikut :

  1. Untuk mengetahui sejauh mana peranan pers dalam pembangunan Kota Padang Panjang dilihat dari sisi perspektif Undang-undang Nomor 40 Tahun 1999.
  2. Untuk mengetahui dampak peran pers dalam era kebebasan pers sekarang ini dalam pembangunan Kota Padang Panjang.
  3. Untuk mengetahui hambatan dan kendala yang ditemui dan upaya yang dilakukan untuk mengatasi hal tersebut.

1.5 Kegunaan Penelitian

Sebagaimana penelitian-penelitian yang dilakukan pada umumnya, penelitian yang dilakukan ini mempunyai dua kegunaan, sebagai berikut :

  1. Kegunaan secara teoritis. Diharapkan penelitian ini akan dapat memberikan sumbangan pemikiran terhadap pengembangan ilmu pengetahuan secara hukum tentang pers, khususnya tentang peranan pers terhadap pembangunan dilihat dari sisi perspektif Undang-undang nomor 40 Tahun 1999 di Kota Padang Panjang.
  2. Kegunaan Secara Praktis. Hasil penelitian ini diharapkan akan menjadi sumbangan penulis bagi pelaksanaan Undang-undang Nomor 40 Tahun 1999 dan kaitannya dengan pembangunan di Kota Padang Panjang.

1.6 Kerangka Teoritis dan Konseptual

Kerangka Teoritis

Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), didirikan berdasarkan atas hukum. Pancasila sebagai dasar Negara dan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 adalah landasan konstitusional negara.

Dengan demikian, berarti Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah negara yang menempatkan hukum pada posisi yang sangat penting. Pada intinya, pemerintahan  negara ini dijalankan berdasarkan atas hukum.

Pada setiap hukum dikesampingkan, pada saat itu pulalah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) ini  akan goncang, seperti biduk yang oleng digoncang ombak di tengah lautan  luas, yang ditempati 200 juta lebih jiwa manusia.

Pengalaman telah membuktikan, beberapa kali pemerintahan   Negara Indonesia tidak dijalankan berdasarkan atas hukum, baik di era Orde Lama maupun di era Orde Baru, semuanya berakhir dengan goncangan yang sangat memilukan. Era Orde Lama berakhir dengan tragis. Ini disebabkan hukum tidak lagi menjadi acuan perjalanan bangsa. Contohnya, Presiden diputuskan seumur hidup, yang benar-benar menyalahi Undang-Undang Dasar 1945. Pancasila diperas menjadi Trisila dan Komunis yang benar-benar bertentangan dengan Pancasila dibiarkan tumbuh dan berkembang.

Era Orde Baru pun berakhir dengan tragis. Pemimpin kuat di era Orde Baru, Soeharto, berhenti dari jabatannya setelah didesak gelombang unjuk rasa selama berhari-hari. Ini adalah lagi-lagi disebabkan karena Pemerintahan Negara tidak lagi dijalankan berdasarkan atas hukum. Pemilihan Umum yang dilaksanakan di era Orde Baru, tidak lagi berjalan jujur dan adil. Peradilan dijadikan barang dagangan. Korupsi merajalela. Pada pokoknya Korupsi Kolusi dan Nepotisme (KKN) menjadi pemandangan biasa di tengah-tengah masyarakat.

Gerakan yang muncul kemudian dan menjadi arus utama gerakan rakyat adalah gerakan yang menyerukan reformasi. Laksana genderang yang ditabuh bertalu-talu, suara anti korupsi, kolusi dan nepotisme menggema di mana-mana. Tiga kata yang disulam menjadi KKN itu dialamatkan kepada Presiden Soeharto. Penilaian rakyat terhadap Pak Harto sebagai pemimpin tidak berhasil memberantas korupsi bahkan sebaliknya membiarkan penyakit ini merajela di lingkungan pemerintahan pusat dan daerah, oknum pejabat tertinggi sampai kepala desa di level paling bawah, termasuk keluarga dan kroninya.[8]

Dengan ini telah terbukti, bahwa setiap era kekuasaan pemerintahan negara ini dijalankan keluar dari koridor hukum, akan berakhir dengan tragis dan sekaligus akan berakhir dengan kesengsaraan rakyat. Karena itu, apabila dikaitkan dengan keberadaan pers di Indonesia di era reformasi sekarang, maka kebebasan pers yang dicapai saat ini, haruslah kebebasan pers yang berada dalam koridor hukum. Bukan kebebasan pers yang tanpa ada aturan. Apabila kebebasan pers tidak lagi berada dalam koridor hukum yang berlaku, liar tanpa ada kendali sama sekali, maka kebebasan pers ini akan berubah menjadi mudarat dan akan berakhir pula secara tragis nanti. Dengan demikian, peranan hukum bagi perjalanan pers yang bebas sekarang ini sungguh sangat penting artinya. Sebab, pers yang tidak diatur oleh hukum akan menjadi liar dan akan memakan korban di tengah-tengah masyarakat.

Karena itu, sebagaimana dikatakan oleh Prof. Oemar Seno Aji, SH, bahwa adalah sangat esensial untuk mengembangkan pengertian hokum tentang pers yang bebas dan bertanggungjawab, yang kesemuanya menjadi tanggungjawab dan kewajiban para penegak hokum. Sedangkan ilmu hokum dan yurisprudensi dapat ikut serta dalam pengembangannya, khususnya jika terdapat gejala bahwa perundang-undangan sendiri tidak menjajarkan diri dengan perkembangan masyarakat.[9]

Jadi, hukum bagi pers benar-benar esensial. Pers tidak bisa dilepaskan dari hukum. Pers yang lepas dari hukum, sama dengan keberadaan seekor harimau di rimba raya. Di samping dia akan menerkam mangsanya, bisa juga dia sendiri yang terkena jerat atau masuk perangkap. Sebuah pers yang hidup tanpa kendali, dia bisa hidup seperti seorang raja pembunuh yang sadis dan bisa juga bangkrut sendiri karena tidak dipercaya oleh pembaca.

Apabila kita perhatikan dari sisi hukum, hukum di negara Indonesia sudah mengatur sedemikian rupa dalam hal pers. Dalam ketentuan-ketentuan hukum pidana yang ada kaitannya dengan media massa, sudah jelas-jelas diatur tentang pers dalam pasal-pasalnya. Dalam pasal 155 ayat (1) dikatakan, “Barang siapa menyiarkan, mempertunjukkan atau menempelkan tulisan atau lukisan di muka umum yang mengandung pernyataan perasaan permusuhan, kebencian atau penghinaan terhadap Pemerintah Indonesia, dengan maksud supaya isinya diketahui atau lebih diketahui oleh umum, diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun enam bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah”.

Di sini jelas-jelas ditegaskan bahwa di dalam menyiarkan sebuah informasi yang bisa menimbulkan rasa permusuhan, kebencian atau penghinaan akan berhadapan dengan hukum dan akan mendapatkan sanksi ancaman hukum cukup berat.

Pada sisi lain, Pers yang meliputi media cetak, media elektronik dan media lainnya pada dasarnya juga merupakan salah satu sarana untuk mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan. Oleh sebab itu, agar pers dapat berfungsi secara maksimal sebagaimana diamanatkan pasal 28 UUD 1945 tersebut, maka perlu dibentuk Undang-undang tentang pers. [10]

Pada dasarnya, esensi kegiatan menulis sebuah berita bagi pekerja pers atau wartawan adalah untuk melaporkan seluk-beluk sebuah peristiwa yang telah, sedang atau aklan terjadi. Melaporkan di sini, artinya adalah menuliskan apa yang dilihat, didengar, atau dialami seseorang atau sekelompok orang. Berita itu ditulis wartawan adalah sebagai rekonstruksi tertulis dari apa yang terjadi. Fenomena ini tidak jauh berbeda dengan laporan untuk media elektronik seperti radio dan televisi.

Menurut Ashadi Siregar dkk, peristiwa perlu diberitakan paling tidak berdasarkan dua alasan, yaitu untuk memenuhi tujuan politik keredaksian suatu media massa atau memenuhi kebutuhan pembaca. [11]

Apabila diperhatikan, dalam Undang-Undang Dasar 1945 sudah jelas-jelas mengatakan pada pasal 28, yakni” Kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan undang-undang. Pada pasal 28 F UUD 1945 dikatakan, “Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia”.

Sebagaimana dinyatakan dalam UUD 1945 di atas, setiap warga negara memiliki hak untuk memperoleh informasi, untuk menyebarkan informasi dan semua itu harus ada aturannya, agar tidak sampai ada hak orang lain terganggu oleh orang-orang yang mempergunakan haknya tersebut.

Dalam hal ini, Undang-undang Hak Asasi Manusia(HAM) telah mengatur sedemikian rupa, sehingga tidak ada seorangpun yang bisa berbuat sewenang-wenang kepada orang lain.

Pada Bab II Asas-Asas Dasar, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Aasasi Manusia dikatakan, “ Negara Republik Indonesia mengakui dan menjunjung tinggi hak asasi manusia dan kebebasan dasar manusia sebagai hak yang secara kodrati melekat padanya dan tidak terpisahkan dari manusia, yang harus dilindungi, dihormati, dan ditegakkan demi peningkatan martabat kemanusiaan, kesejahteraan, kebahagiaan, dan kecerdasan serta keadilan.

Dalam hal ini terbukti bahwa hak asasi manusia itu dijamin sepenuhnya oleh negara, sehingga di sisi penyebaran informasi, baik melalui media massa atau pers , di satu sisi wartawan punya hak untuk memperoleh dan menyebarkan informasi, sebaliknya masyarakat memilik hak untuk tidak dirugikan oleh suatu informasi yang beredar di tengah-tengah masyarakat melalui media massa atau pers tersebut.

Selanjutnya Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 40 Tahun 199 tentang Pers, telah mengatur sedemikian rupa tentang kerja pers di Negara Republik Indonesia. Undang-Undang 40 Tahun 1999 ini merupakan acuan bagi pers dalam melakukan pekerjaannya di tengah-tengah masyarakat. Seperti dikemukakan pasal 2 pada Bab II Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999, “Kemerdekaan pers adalah salah satu wujud kedaulatan rakyat yang berasaskan prinsip-prinsip demokrasi, keadilan, dan supremasi hukum.  Pada pasal 3 dikatakan, “ Pers nasional mempunyai fungsi sebagai media informasi, pendidikan, hiburan dan control sosial”. Pasal 5 ayat (1) mengatakan,” Pers nasional berkewajiban memberitakan peristiwa dan opini dengan menghormati norma-norma agama dan rasa kesusilaan masyarakat serta asas praduga tak bersalah”.  Ayat (2), menyatakan”, Pers wajib melayani Hak Jawab”. Ayat (3), mengatakan” Pers wajib melayani Hak Koreksi”.

Dengan demikian, secara teoritis, keberadaan pers di Negara Republik Indonesia tidak bisa sewenang-wenang, tetapi harus tunduk dan patuh kepada ketentuan-ketentuan hukum yang ada. Pada intinya, pers harus mampu memberikan kecerdasaan kepada masyarakat, dan bukan sebaliknya membodohi masyarakat melalui penyajian berita-berita yang tidak memiliki fakta dan melalui berita-berita yang tidak mendidik.

Kerangka Konsepsional

Untuk memudahkan pembahasan, berikut ini diuraikan beberapa pengertian konsepsional dari istilah yang dimaksudkan dalam judul usulan penelitian ini, sebagai berikut :

  1. Peranan adalah langkah kebijakan dan kegiatan yang dilakukan oleh suatu organisasi/badan/orang berdasarkan kedudukannya.
  2. Pers adalah media persuratkabaran, seperti koran, majalah, tabloid, buletin dan sejenisnya, yang berfungsi untuk menyajikan informsi kepada pembaca.
  3. Pembangunan, adalah mendirikan sesuatu atau membina sesuatu untuk kemajuan ke arah yang lebih baik dari sebelumnya.
  4. Perspektif adalah penerapan dari suatu peraturan perundang-undangan di tengah-tengah masyarakat
  5. e. Undang-undang Negara Republik Indonesia Nomor 40 Tahun 1999, adalah Undang-undang yang mengatur tentang pers di Indonesia.

1.7 Metodologi Penelitian

a. Jenis Pendekatan

Penelitian ini merupakan penelitian hukum dengan dilakukannya dengan pendekatan yuridis normatif komparatif yang didukung oleh penelitian yuridis empiris. Penelitian berbentuk yuridis empiris ini dilakukan dengan cara menginventarisasi hukum positif, melakukan sinkronisasi perundang-undangan secara vertikal dan horizontal, penemuan asas-asas hukum yang terkait dengan pengaturan peran dan fungsi pers dalam pembangunan Kota Padang Panjang.

Sedangkan penelitian Yuridis Empiris, dilakukan untuk melihat bekerjanya hukum dalam masyarakat yang terkait dengan praktek pelaksanaan peran dan fungsi pers dalam pembangunan di Kota Padang Panjang.

Selanjutnya, studi perbandingan juga akan dilakukan dalam penelitian ini (comparatif study), yakni membandingkan ketentuan yang ada sebelumnya, yakni Undang-undang Nomor 21 Tahun 1982 dengan Undang-Undang Negara Republik Indonesia Nomor 40 Tahun 1999 Tentang Pers.

b. Sumber Data

Sumber data dalam penelitian ini, terdiri dari data sekunder dan data primer. Sebagai pendukung data skunder, adalah meliputi :

  1. Bahan hukum primer, yakni meliputi: Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor XVII/MPR/1998 tentang Hak Azasi Manusia, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Indonesia, Undang-Undang Negara Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 1966 Tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pers sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Negara Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 1967 dan diubah dengan Undang-undang Nomor 21 Tahun 1982,  Undang-undang Negara Republik Indonesia Nomor 40 Tahun 1999 Tentang Pers.
  2. Bahan hukum sekunder, yang terdiri dari buku-buku, karya ilmiah, dan literatur mengenai hukum tata negara umumnya dan hukum tentang peran dan fungsi pers pada khususnya.
  3. Bahan Hukum Tersier, yakni yang meliputi kamus, ensiklopedi, katalog data primer sebagai pendukung data skunder, yang meliputi hasil wawancara dengan responden yang berkapasitas sebagai pakar dan praktisi di bidang pers, yang berkaitan dengan peranan pers dalam pembangunan umumnya dan peran pers dalam pembangunan di Kota Padang Panjang pada khususnya.

c. Teknik Pengumpulan Data

Data skunder, berupa bahan primer, bahan hukum skunder dan hukum tersier yang berkaitan dengan penelitian ini diperoleh melalui studi dokumentasi (kepustakaan). Sedangkan data primer yang merupakan data pendukung data skunder diperoleh dengan teknik wawancara yang mendalam (depth interview) dan terstruktrur kepada para responden yang merupakan para pakar dan praktisi hukum ketatanegaraan.

d. Analisa dan Penyajian Data

Data yang diperoleh, lalu dianalisis dengan mempergunakan penafsiran hukum dan disajikan dalam bentuk kualitatif.

e.Lokasi Penelitian

Lokasi penelitian adalah pada wilayah Kota Padang Panjang dan pada sejumlah jajaran pers atau yang terkait dengan pers di Provinsii Sumatera Barat.

BAB II

BAB II TINJAUAN TEORITIS DAN HISTORIS

PENYELENGGARAAN PERS INDONESIA

2.1. Tinjauan Teoritis Penyelenggaraan Pers  Indonesia

Sesungguhnya penyelenggaraan pers Indonesia merupakan implelementasi dari bentuk penyelenggaraan demokrasi di Indonesia. Sangat erat hubungan penerapan demokrasi di Indonesia dengan penyelenggaraan pers Indonesia di negara ini.

Dapat dibuktikan, ketika Indonesia berada di era penjajahan, Orla, Orba dan reformasi, sungguh sangat terasa perbedaan maju mundurnya penyelenggaraan pers di Indonesia.

Satu hal yang penting dicatat dalam hal ini, liku perpajalanan perkembangan pers Indonesia, sama seperti negara-negara lain di dunia, sangat dipengaruhi oleh perkembangan politik di negara Indonesia.

Ketika perkembangan perpolitikan pada suatu rezim di Negara Republik Indonesia berjalan secara diktator, pers berjalan dalam kondisi terkekang atau nyaris tidak mampu mengenyam rasa kemerdekaan. Pemberitaan pers diawasi penguasa sesuai dengan kepentingan politik penguasa tersebut. Kalau ada pers yang berani membuat pemberitaan yang tidak sejalan dengan kepentingan politik penguasa rezim tersebut, resikonya sangat besar. Antara lain, bisa saja wartawannya ditahan atau malah bisa sampai kepada pencabutan SIUUP media bersangkutan. Namun ketika perkembangan perpolitikan pada suatu rezim berjalan secara demokratis, maka otomatis pers akan menghirup udara bebas dalam menjalankan profesinya.

Sebab, suasana otoriter suatu era kekuasaan pemerintahan dalam suatu negara akan berdampak kepada pengekangan perjalanan kehidupan pers, dan sebaliknya kalau suasana demokratis yang muncul dalam suatu era kekuasaan pemeriuntahan, akan berdampak kepada terciptanya kebebasan dalam suatu perjalanan dunia pers.

Suatu bukti, ketika Indonesia berada di era Orde Baru yang lebih akrab kepemimpinannya dengan nuansa diktator, pers di negeri ini sungguh berada dalam kekangan. Selama kurun waktu era kekuasaan era Orde Baru, tidak sedikit media yang terkena bredel atau pencabutan SIUUP gara-gara mencoba menulis dengan nada mengoreksi kepemimpinan pemerintahan waktu itu.

Namun ketika Indonesia berada di era reformasi mulai tahun 1998, kebebasan pers sungguh sangat terasa di negara Republik Indonesia. Wartawan dalam mencari dan menyiarkan informasi tidak lagi merasa takut terkena sensor sebelum berita naik cetak. Atau, tidak lagi merasa akan dicari atau ditangkap setelah berita diterbitkan.

Penyebab demikian dominannya pengaruh perkembangan perpolitikan dalam sebuah kekuasaan rezim pemerintahan terhadap pers, adalah karena penguasa merasa perlu mengendalikan pers, mengingat pemberitaan pers amat besar pengaruhnya terhadap pembentukan sebuah opini di tengah-tengah masyarakat.

Donal Shaw dan Max McComb yang terkenal dengan teorinya ‘”Agenda Setting”, yakni sebuah teori yang menggamnbarkan isi media berita memiliki pengaruh pada persepsi publik tentang isu-isu penting, menjelaskan bahwa apa yang menjadi pemberitaan sebagai sampul berita di media berita itu akan menjadi agenda publik (khalayak pembaca), dan cara perancangan atau reka bentuk pada sampul berita media tersebut telah menanamkan peranan penting pembentukan opini publik berkenaan dengan apa yang menjadi penting atau tidak penting untuk diberitakan.[12]

Teori yang mengemukakan bahwa pemberitaan media massa sangat berpengaruh terhadap pembentukan opini, telah membuat penguasa dalam suatu rezim pemerintahan suatu negara merasa perlu mengendalikan media massa.

Penguasa dalam rezim apapun selalu akan merasa berkepentingan dengan pemberitaan pers. Di satu sisi,  pemberitaan pers bisa membuat citra pemerintahan terangkat dan sebaliknya di sisi lain pemberitaan pers pun dapat pula menghancurkan citra pemerintahan.

Karena itulah, pemerintahan di negara manapun di dunia ini, tidak terkecuali di Negara Republik Indonesia, tidak ada yang tidak merasa berkepentingan dengan pemberitaan pers.

Dengan demikian, dalam rezim apapun juga, pemberitaan pers selalu menjadi perhatian serius baginya. Artinya, pengendalian terhadap pemberitaan pers selalu menjadi titik fokus utama pemerintahan.

2.2.1. Etika Pers Yang Bebas dan

Bertanggungjawab.

Sesuai dengan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 Tentang Pers, pada hakekatnya pers Indonesia merupakan pers yang bebas dan bertanggungjawab. Maksudnya, pers Indonesia dalam melaksanakan profesinya memiliki kebebasan yang dijamin oleh undang-undang. Akan tetapi kebebasan tersebut bukan tanpa batas, tetapi dibatasi oleh tanggungjawab yang melekat pada etika kebebasan pers tersebut, yang disebut dengan etika pers. Etika pers inilah yang membuat setiap insan pers bertanggungjawab terhadap berbagai dampak atau akibat dari profesi jurnalistik yang dijalankannya.

Di antara etika pers yang membuat pers itu bebas dan bertanggungjawab adalah sebagai berikut :

  1. Hati nurani. Dengan mempergunakan hati nurani, insan pers dalam melaksanakan profesinya akan mampu memilah,  mana yang baik dan mana yang buruk, mana yang pantas diberitakan mana yang tidak pantas. Hati nurani akan mampu mengukur batas-batas kewajaran sebuah informasi yang dikemukakan seuah media massa kepada publik.
  2. 2. Pancasila. Sebagai dasar negara yang digali dari bumi Indonesia sendiri, nilai-nilai yang ada dalam Pancasila merupakan etika yang mampu menjadikan pers sebagai pers yang bebas dan bertanggungjawab.
  3. 3. Undang-Undang Dasar 1945 Yang Diamendemen. UUD 1945 yang diamendemen, adalah merupakan etika yang harus menjadi etika bagi pers. Sebab pasal demi pasal dalam UUD 45 yang dimaendemen ini

adalah mengandung nilai-nilai moral yang harus dituruti oleh insan pers dalam menjalankan profesinya.

  1. Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 Tentang Pers. Undang-Undang ini adalah aturan yang menjadi ukuran etika bagi insan pers dalam menjalani profesinya. Dengan ini diharapkan wartawan Indonesia tidak saja sekadar menganut prinsip bebas tetapi sekaligus juga harus bertanggungjawab.
  2. Kode Etilk Jurnalistik. Kode etik jurnalistik adalah etika yang secara teknis yang harus dipatuhi insan pers dalam melaksanakan tugas profesinya sehari-hari. Pelanggaran seorang wartawan terhadap kode etik jurnalistik, sungguh sangat memalukan karena kode etik jurnalistik adalah etika wartawan sendiri, yang khusus untuk insan pers yang kegunaannya untuk wartawan dalam menjalankan profesinya.
  3. Kode Etik Wartawan Indonesia(KEWI). Kode Etik Wartawan Indonesia sungguh sebuah rambu-rambu etika wartawan yang harus menjadi pagar pembatas bagi wartawan dalam bertindak sepanjang kegiatannya dalam profesi kewartawanan.
  4. KUHP. Ketentuan-ketentuan yang ada dalam pasal-pasal KUHP yang berkaitan dengan pers, baik secara langsung maupun tidak langsung, akan mem buat wartawan Indonesia menjadi wartawan yang bebas dan bertanggungjawab. Si pelanggalarnya akan berhadapan dengan hukum, sebagai konsekwensi  dari pelanggaran ter5hadap etika pers yang dilakukan seorang insan pers.

2.2.2. Asas-Asas Penyelenggaraan Pers

di Indonesia

Kini sampailah pembahasan kepada asas-asas penyelenggaraan pers di Indonesia. Sebagaimana pada  negara-negara lain di dunia, penyelenggaraan pers di Negara Republik Indonesia tidak terlepas dari berbagai ketentuan yang diatur  menurut peraturan perundang-undangan yang ada dan berlaku di negara ini.

Namun satu hal yang menjadi garisan dalam penyelenggaraan pers bagi suatu negara dalam upaya menyahuti kepentingan negara tersebut, adalah bagaimana agar asas-asas penyelenggaraan pers di negara tersebut mampu menyahuti kepentingan masyarakat.

Artinya, pemberitaan pers harus mampu menjadi pendorong bagi masyarakat untuk semakin menyadari bahwa peranan mereka dalam membangun bangsanya sangat penting.

Pers tidak hanya hadir semata-mata untuk menikmati kebebasan tanpa mempedulikan kepentingan masyarakat dalam arti luas. Pers harus mempergunakan kebebasannya untuk kepentingan masyarakat sebesar-besarnya.

Khusus untuk negara berkembang seperti Negara Republik Indonesia, pers merupakan hal yang amat penting artinya dalam menumbuhkembangkan gelora semangat [13]masyarakat dalam me[14]mbangun bangsa dan negaranya.

Karena melihat demikian besarnya peranan pers di tengah-tengah masyarakat, Ishadi Sutopo KS mengemukakan, bahwa para cendikiawan di bidang komunikasi kata Ishadi Sutopo KS yakin tentang pentingnya arti media massa bagi modernisasi negara-negara sedang berkembang. Mereka mempercayakan pelbagai tugas pada media dan mendasarkan kesimpulan mereka untuk sebagian besarnya atas studi-studi lapangan perihal tingkah laku dan dampak media. 7

Berkaitan dengan ini, masih melihat kepada kepentingan media massa oleh negara berkembang seperti Negara Republik Indonesia, Lucian W. Pye mengemukakan dalam salah satu tulisannya dengan lebih bersifat filosofis, bahwa kecuali kalau masyarakat luas dapat diperkenalkan pada cara-cara berfikir yang baru dan dituntun untuk menerima sikap-sikap yang baru, maka hanya ada sedikit harapan untuk menciptakan kemajuan yang mantap ke arah pembangunan ekonomi, modernisasi masyarakat dan kedewasaan politik.8

Melalui pendapat-pendapat ini, terlihat bahwa penyelenggaraan pers di Indonesia sebagai negara yang masih tergolong kepada negara berkembang, memerlukan koridor-koridor atau ketentuan-ketentuan yang mampu membangkitkan gelora semangat masyarakat untuk turut serta berpartisipasi dalam pembangunan bangsa dan negara.

Namun ketentuan-ketentuan tersebut bukan dalam arti mengekang kebebasan pers. Malahan sebaliknya, ketentuan-ketentuan itulah yang menjadikan pers Indonesia pers yang bebas dan bertanggungjawab.

Sebab dengan adanya ketentuan-ketentuan, sesuai dengan aturan hukum yang ada, kebebasan pers menjadi semakin terjamin, tidak ada lagi yang bisa mengekang. Sebab kalau ada yang mengekang, dia bisa dikategorikan melakukan hal melawan hukum.

Secara teoiritis dapat dikatakan, bahwa pers yang bebas itu bukanlah pers yang tidak berjalan dengan tidak ada aturan. Tetapi sebaliknya pers yang bebas itu adalah pers yang berjalan dengan aturan hukum yang jelas, yang tidak bisa aturan itu diubah sembarangan saja oleh pihak manapun juga, baik oleh pihak penguasa ataupun oleh pihak pers sendiri.

Pers yang berjalan dengan aturan yang jelas, haruslah memiliki asas-asas yang jelas pula, yang bisa dituruti oleh penyelengara pers, sehingga dia tidak berat ke kiri atau ke kanan.

Sebab apabila pers tidak memiliki asas-asas yang jelas, atau apabila penyelenggara pers tidak mau menuruti asas-asasnya, dikhawatirkan pers akan mudah dimanfaatkan berbagai pihak untuk kepentingannya. Misalnya, pers yang tidak memiliki asas atau pers yang tidak memiliki aturan dalam menjalani profesinya, dia akan mudah dimanfaatlkan penguasa untuk kepentingan politiknya atau bisa juga dimanfaatkan orang-orang yang tidak ingin negara ini berjalan dengan baik.

Asas penyelenggaraan pers di Indonesia dapat dilihat dalam berbagai peraturan perundang-undangan yang dimiliki Negara Republik Indonesia karena dasar ataupun tujuan penyelenggaraan pers di Indonesia ada dalam peraturan perundang-undangan tersebut. Antara lain dapat dilihat di sini, sebagai berikut :

1) Praduga tak bersalah. Penyelenggaraan pers di Indonesia berasaskan kepada praduga tak bersalah. Dengan asas praduga tak bersalah, pers dalam memberitakan tentang keterliatan seseorang atau sekelompok orang dan sejenisnya dalam suatu tindakan kejahatan, tidak bisa langsung menvonis. Yang berhak menvonis seseorang, sekelompok orang atau sejenisnya bersalah adalah hakim di pengadilan. Selagi dalam proses hukum, pers hanya bisa memberitakan bahwa yang bersangkutan diduga bersalah.

Apabila sempat pers menvonis seseorang sebagai pelaku pencurian karena mungkin disebabkan dia melihat sendiri atau karena disampaikan oleh sumber yang nyata-nyata telah melihat yang bersangkutan melakukan pencurian melalui pemberitaan pers, kalau nanti hakim memutuskan lain, seperti membebaskan yang bersangkutan karena tidak terbukti bersalah, atau karena sebenarnya bukan dia karena berbagai alasan lainnya yang diterima hakim,  dapat dibayangkan betapa pers telah membuat nama baik seseorang tercemar. Jadi, pers tidak berhak menghakimi seseorang, apakah dia bersalah atau tidak. Karena itu, apapun alasannya, pers harus memegang teguh prinsip asas praduga tak bersalah. Pers hanya dalam kapasitas memberitakan hasil putusan dan bukan punya kewenangan membuat putusan sekaligus memberitakan.

2) Kecerdasan. Penyelenggaraan pers tidak bisa dilepeskan dari kecerdasan. Pers sebagai pihak yang punya tugas menyampaikan informasi kepada masyarakat, sudah barang tentu pers memegang peranan penting dalam hal mencerdaskan masyarakat.

Sebab dengan banyaknya masyarakat mengetahui sesuatu melalui media massa, baik cetak maupun elektronik akibat dsari penyelenggaraan pers, maka masyarakat akan cerdas akibat pers.

Dengan demikian, pers punya peranan penting dalam mencerdaskan kehidupan bangsa. Masyarakat pun punya hak untuk mendapatkan pencerdasan ini. Karena itu, asas pencerdasan merupakan salah satu asas dariu penyelenggaraan pers.

Hal ini dapat dilihat pada Undang-undang Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 1999, Tentang Hak Asasi Manusia, pada Bab II Asas-Asas Dasar, Pasal 2, menyatakan: Negara Republik Indonesia mengakui dan menjunjung tinggi hak asasi manusia dan kebebasan dasar manusia sebagai hak yang secara kodrati melekat pada dan tidak terpisahkan dari manusia, yang harus dilindungi, dihormati, dan ditegakkan demi peningkatan martabat kemanusiaan, kesejahteraan, kebahagiaan, dan kecerdasan serta keadilan.

Selanjutnya dalam undang-undang ini, pada Bab III, Hak Asasi Manusia Dan Kebebasan Dasar Manusia, Bagian Kelima, Hak Kebebasan Pribadi, pasal 23, ayat(2) dikatakan dengan tegas: Setiap orang bebas mempunyai, mengeluarkan dan menyebarluaskan pendapat sesuai hati nuraninya, secara lisan dan atau tulisan melalui media cetak maupun elektronik dengan memperhatikan nilai-nilai agama, kesusilaan, ketertiban, kepentingan umum, dan keutuhan bangsa.

3) Keterbukaan. Keterbukaan merupakan asas penyelenggaraan pers di Indonesia. Dengan keterbukaan ini, masyarakat memiliki hak untuk memperoleh informasi publik.

Dan dengan keterbukaan ini pula, pers memiliki tujuan yang jelas dalam menjalankan profesinya, yakni untuk memberitahukan informasi kepada publik atau masyarakat secara terbuka.

Hal ini bisa dilihat dalam Undang-undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2008, Bab III tentang Hak Dan Kewajiban Pemohon Dan Pengguna Informasi Publik Serta Hak Dan Kewajiban Badan Publik, Bagian Ke4satu tentang Hak Pemohon Informasi Publik, pasal 4, yang menyatakan: ayat (1) Setiap orang berhak memperoleh informasi publik sesuai dengan ketentuan Undang-Undang ini. Ayat (2) Setiap Orang berhak:

  1. melihat dan mengetahui Informasi Publik.
  2. Menghadiri pertemuan publik yang terbukauntuk umum untuk memperoleh Informasi Publik.
  3. Mendapatkan salinan Informasi Publik melalui permohonan sesuai dengan Undang-Undang ini; dan/atau
  4. Menyebarluaskan Informasi Publik sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

2.2. Tinjauan Historis Penyelenggaraan Pers

di Indonesia

2.3.1. Perkembangan Penyelenggaraan

Pers di Indonesia Pada era

Sebelum Merdeka

2.3.1.1. Pers di Era Penjajahan

Belanda

2.3.1.2. Pers di Era Penjajahan

Jepang

2.3.2. Penyelenggaraan Pers di Indonesia

Pada era Kemerdekaan

2.3.2.1. Pers di era Orde Lama

2.3.2.2. Pers di era Orde Baru

2.3.2.3. Pers di era Reformasi

BAB III. PENGATURAN PENYELENGGARAAN

PERS DALAM MELAKSANAKAN

FUNGSINYA DI NEGARA REPUBLIK

INDONESIA

3.2.1.                  Pers Indonesia Dalam Melaksanakan Fungsainya Sebagai Sosial Kontrol

3.2.2.                  Pers Indonesia Dalam Melaksanakan Fungsinya Sebagai Media Pendidikan

3.2.3.                  Pers Indonesia Dalam Melaksanakan Fungsinya Sebagai Media Hiburan

3.2.4.                  Pers Indonesia Dalam Melaksanaan Fungsinya Sebagai Pengemban prinsip Idealis

3.2.5.                  Pers Indonesia Dalam Melaksanakan Fungsinya Dalam Bentuk Bisnis

BAB IV TINJAUAN TENTANG PERANAN PERS

DALAM PEMBANGUNAN DI  INDONESIA

INDONESIA.

4.1. Peranan Pers Dalam Pembangunan

Nasional

4.2. Peranan Pers Dalam Pembangunan di

Daerah Otonom(Kabupaten/Kota)

4.2.1. Peranan Pers Dalam Pembangunan

di Daerah Kabupaten/Kota Pada Era

Orde Lama dan Orde Baru

4.2.2. Peranan Pers Dalam Pembangunan

di Daerah Kabupaten/Kota Pada era

Reformasi

BAB V PERANAN PERS DALAM

PEMBANGUNAN KOTA PADANG

PANJANG DILIHAT DARI

PERSPEKTIF UNDANG-UNDANG

NOMOR 40 TAHUN 1999

5.1. Penyelenggaraan Fungsi Pers Dalam

Pembangunan Kota Padang Panjang

Dilihat  Dari Perspektif Undang-Undang

Nomor 40  Tahun 1999

5.1.2. Dilema Penerapan Undang-Undang

Nomor 40 Tahun 1999

5.1.3. Pengaruh Kebebasan  Pers Dalam

Gerak Pembangunan Kota Padang

Panjang

5.1.4. Pengaruh Otonomi Daerah dan

Kebebasan Pers Dalam Pembangunan

Kota Padang Panjang.

5.1.5. Kesiapan Masyarakat Padang Panjang

Menyikapi Pemberitaan Pers

Dikaitkan Dengan Lahirnya Undang-

Undang Nomor 40 Tahun 1999

5.1.6. Kesiapan Wartawan Dalam

Menyikapi Penerapan Undang-

Undang Nomor 40 Tahun 1999

Dikaitkan Dengan Gerak Langkah

Pembangunan Kota Padang Panjang

5.2. Beberapa Dilema Yang Timbul di Tengah

Masyarakat Kota Padang Panjang Akibat

Kebebasan Pers dan Otonomi Daerah

5.2.1. Pengaruh Tingkat Kecerdasan

Masyarakat Dalam Menyikapi

Pemberitaan Pers Dilihat Dari Perspektif

Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999

5.2.2. Pengaruh Tingkat Kemampuan

Wartawan Dalam Menjalankan Fungsi

Pers-nya Dilihat Dari Perspektif

Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999                             5.2.3. Pengaruh Kesiapan Birokrasi Dalam

Menyikapi Pemberitaan Pers Dilihat

Dari Perspektif Undang-Undang Nomor

40 Tahun 1999

5.2.4. Nilai Positif dan Negatif Terhadap

Pembangunan Kota Padang Panjang

Dengan Lahirnya Undang-Undang

Nomor 40 Tahun 1999

BAB VI PENUTUP

6.1. Kesimpulan

6.2. Saran-Saran

DAFTAR PUSTAKA

Abdul Gafur, Harihari Terakhir Seorang Presiden, Pustaka Sinar Harapan,

Jakarta, 2000

Abdul Rahman Wahid, Melawan Melalui Lelucon, Tempo, Jakarta, 2000

Ahmad Watik Praktiknya dkk, Pandangan dan Langkah Reformasi B.J.

Habibie, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta, 1999

Ashadi Siregar dkk, Bagaimana Meliput dan Menulis Berita Untuk Media

Massa, Penerbit Kanisius, Yogyakarta, 1998

Don Michael Flournoy(Ed.), Analisa Isi Suratkabar-Suratkabar Indonesia, Gadjah Mada University Press, 1989

Fachry Ali, Esai Politik Tentang Habibie Iptek dan Transpormasi Kekuasaan,

Balai Pustaka, Jakarta, 1999

F. Rachmadi, Perbandingan Sistem Pers, PT. Gramedia, Jakarta, 1990

Hasan Shadily dkk, Ensiklopedi Indonesia, Jilid 3, PT. Ikhtiar Baru-Van Hoeve

dan Elsevier Publishing Projects, Jakarta, 1989

Hasan Shadily dkk, Ensiklopedi Indonesia, Jilid 7, PT. Ikhtiar Baru-Van hoeve

dan Elsevier Publishing Project, Jakarta, 1987

Indrawan WS, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia, Lintas Media, Jombang

Ismail Suny, Mencari Keadilan, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1981

Ismail Suny, Pergeseran Kekuasaan Eksekutif Suatu Penyelidikan Hukum

Tata Negara, Aksara Baru, Jakarta, 1986

Larrry King, Seni Berbicara Kepada Siapa Saja, Kapan Saja, Di mana Saja,

PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2006

Legiman Misdiyono, Misteri Operasi Intelijen,Indomedia Publishing,

Jakarta, 2007

Manfred Oepen, Media Rakyat Komunikasi Pengembangan Masyarakat,

P3M, Jakarta, 1988

Moh. Mahfud MD, Demokrasi dan Konstitusi di Indonesia. Studi Tentang

Interaksi Politik dan Kehidupan Ketetanegaraan, Rineka Cipta,

Jakarta, 2003

Mohammad Hatta, Alam Pikiran Yunani, Tintamas, Jakarta, 1986

Nurhuda Adinur dkk, Perhumas Dalam Warna Menyusun Strategi,

Membangun Korporasi & Menjaga Reputasi, BPP perhumas Bidang

Komunikasi, Jakarta, 2004

Prasetyohadi, Keadilan Dalam Masa Transisi, Komisi Nasional Hak Asasi

Manusia, Jakarta, 2001

S.L. Roy, Diplomasi, Rajawali Pers, Jakarta, 1991

Sudirman Tebba, Hukum Media Massa Nasional, Pustaka irVan, Ciputat,

2006

Wina Armada, S.A, Wajah Hukum Pidana Pers, Pustaka Kartini, Jakarta,

1989

Vera Jasini Putri, Kamus Hukum Otonomi Daerah, Friedrich-Naumann-

Stiflung(FNSt), Jakarta, 2003

Yurnaldi, Menjadi Wartawan Hebat, Citra Budaya Indonesia, Padang,

2004

Peraturan Perundang-Undangan

Undang-Undang Dasar 1945 dan Perubahannya

Ketetapan MPR Nomor XVII/MPR/1998 Tentang Hak Azasi Manusia

Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1966 Tentang Ketentuan-Ketentuan

Pokok Pers

Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1967 Tentang Ketentuan-Ketentuan

Pokok Pers

Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1982 Tentang Ketentuan-ketentuan

Pokok Pers

Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 Tentang Pers

Unang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 Tentang Keterbukaan Informasi

Publik


[7] Prof. Dr. Moh. Mahfud MD, S.H. S.U.. Demokrasi dan Konstitusi di Indonesia. Studi Tentang Interaksi Politik dan Kehidupan Ketatanegaraan”, Rineka Cipta, 2001. hlm. 19

[8] Abdul Gafur, Hari-hari Terakhir  Seorang Presiden, Pustaka Sinar Harapan, 2000, hlm 6

[9] Wina Armada, S.A, SH, Pendahuluan oleh Prof. Oemar Seni Aji, SH, Wajah Hukum Pidana Pers, Pustaka Kartini, 1989, hlm 12.

[10] Kata Pengantar Undang-undang Republik Indonesia Nomor 40 Tahun 1999 Tentang Pers, Departemen Penerangan RI, 1999

[11] Ashadi Siregar dkk, Bagaimana Meliput, penerbit Kanisius, 1998, hlm 19

[12] Nurhuda Adinur DKK, Perhumas Dalam Warna, BPP Perhumas Bidang Komunikasi, Jakarta 2004, hlm. 127.

7. Don Michael Flournoy(Ed.), Analisa Isi Surat Kabar – Surat Kabar Indonesia, Gadjah Mada University Press, 1989, hlm.65.

8 Idem.

Jalan tanah di Lubuk Ulang Aling Selatan, Solok Selatan, Sumbar.

kondisi jalan tanah dari Lubuk Ulang Aling Selatan ke Sitapus di Kec. Sangir Batang Hari, Kab. Solok Selatan, Sumbar.  Jika jalan ini bagus, sangat besar artinya bagi masyarakat untuk perkembangan ekonomi .

JK. UNGGUL DALAM DEBAT CAPRES PUTARAN 2

Debat Capres putaran kedua, yang berlangsung malam ini, Kamis(25/6-2009), yang dimoderotari ekonom Aviliani di grand studio Metro TV, Jakarta, memang harus diakui diungguli Capres Yusuf Kalla(JK).

Agaknya, baik lawan maupun kawan bagi pasangan nomor 3 ini, setuju dengan keunggulan JK dalam debat ini. Paling tidak, tampak benar betapa lincahnya JK selama berlangsung debat malam ini.

Bahkan, dialah yang berani berjalan ke depan, tanpa ada rasa beban mental sedikitpun. Tawanya, suaranya, dan penguasaan materi yang dikemukakannya, sungguh tampak dengan jelas ia kuasai.

JK seperti seorang praktisi yang sama sekali tak ada kesan canggung ketika berada di lapangan. Dan benar sekali bahwa dia adalah orang praktisi. Saya ingat dengan pendapat pengusaha Bob Sadino, bahwa berbeda sekali antara orang yang tahu dengan  orang yang bisa, serta orang yang tahu sekaligus bisa. JK, di kelihatannya di samping tahu sekaligus bisa.

Apakah karena JK memang seorang praktisi ekonomi ? Apakah juga karena JK seorang yang telah cukup lama berada kabinet sebagai seorang menteri pada beberapa kabinet dan malah sudah lima tahun jadi Wapres bersama SBY sebagai Presiden ? Semua ini, tentu kita bersama saja menjawabnya.

Namun, apakah yang dua lainnya kurang greget ? Sama sekali tidak. Semuanya telah tampil dengan segala kelebihannya masing-masing.

Terlepas dari segala kelebihan dan kekurangan acara debat Capres putaran kedua ini, kita mungkin hampir sepakat mengatakan lebih greget, lebih hangat dibandingkan debat Capres putaran pertama.

Kita tentu sulit menilai, apakah ini disebabkan moderatornya yang hebat, tim suksesnya yang semakin hebat, KPU-nya yang semakin mampu melakukan evaluasi debat terdahulu, ataukah karena Capresnya sendiri yang sudah hilang rasa groginya setelqah melampaui debat perdana, yang merupakan gaya demokrasi Indonesia yang disebut Prof. Komaruddin ketika memoderatori debat Cawapres putaran pertama,  sebagai awal tradisi demokrasi Indonesia.

Kita juga melihat di layar televisi Metro TV kegirangan unda ngan yang keluar dari ruangan debat dengan wajah ceria sebagai pertanda puas.

Dengan perkembangan seperti ini, yang diharapkan tentulah semakin majunya dempokrasi Indonesia ke arah yang lebih baik, yang tidak berkembang seiring dengan kecurangan, main kotor, hanya mau menang tapi tak sportif kalah serta tak segan memaksanakan kehendak.

Ketiga Capres kita telah sama-sama memperlihatkan kemampuan, kematangan dan kenegarawannya melalui penampilannya masing-masing.

Mega dengan suaranya yang pelan, tenang dan menyentuh dalam penyampaian materi atau argumentasi, SBY dengan penampilannya yang tenang, sistematis dan suara yang bergema dan JK dengan penampilannya yang lincah, seperti tanpa beban mental sedikitpun, sering senyum bahkan tertawa dan bergerak ke depan audiens dengan argumen-argumen lebih memperlihatkan bahwa dia seorang praktisi.

Namun perjalanan masih panjang. Masih ada lagi debat Capres dan Cawapres. Yang kita harapkan tentulah semakin hangat debat semakin dingin kepala, terutama para pendukung. Mari kita tiru para Capres kita dalam berdemokrasi. Semoga Indonesia makin jaya, makin makmur dan makin bahagia menjadi sebuah negara besar terpandang di dunia. Para Capres kita ada saling serang, tapi dengan langgam yang elok, bahkan dengan guyonan yang membuat kita bisa tertawa renyah. Semoga!!. ***

SOLOK SELATAN GEMPAR, “HARIMAU MASUK KAMPUNG”

Solok Selatan gempar. Jorong Sungai Penuh, Nagari Lubuk Ulang Aling Selatan, Kecamatan Sangir Batang Hari, Kabupaten Solok Selatan, selama dua minggu belakangan ini  dimasuki harimau siang dan malam.

Sebanyak 34 Kepala Keluarga(KK) warga masyarakat setempat, benar-benar dicekam rasa takut terhadap ancaman terkaman si raja hutan tersebut. Akibatnya,  banyak rumah warga yang telah ditinggalkan penghuninya karena ingin berkumpul ke rumah tetangga terdekat di samping ada pula yang sengaja mengungsi ke kampung lain, termasuk yang pindah sementara ke Pulau Punjung, Dharmas Raya yang berdekatan dengan perkampungan yang berada di perbatasan antara Solok Selatan dengan Dharmas Raya itu.

Sesuai dengan pantauan langsung penulis di perkampungan tersebut selama beberapa hari, harimau yang panjangnya mencapai sekitar 1,5 m dengan warna bulu kuning bercampur hitam itu, rata-rata memasuki kampung sekitar pukul 18.30 Wib yang ditandai dengan raungan anjing.

Begitu terdengar anjing menyalak, tak lama kemudian akan terlihat harimau tersebut berjalan santai dari halaman ke halaman rumah penduduk, menelusuri jalan-jalan kampung yang kecil dan lengang karena masyarakat berada di rumah dan memandanginya dari balik kaca-kaca jendela. Kondisi ini akan berlangsung sampai sekitar tengah malam. Setelah istirahat beberapa saat, sekitar pukul 04.00 Wib dia akan datang lagi ke kampung tersebut hingga sampai pukul 06.00 Wib.

Harimau Aneh

Dari pantauan penulis dan informasi sejumlah warga setempat, ada keanehan dari sikap harimau ini. Antara lain, dia sepertinya tidak ingin memakan manusia, sebab mustahil tak bisa dia menangkap manusia kalau ingin, karena di dekat harimau itu berjalan santai sering anak-anak berlarian ketakutan. Anehnya lagi, suatu malam, salah seorang warga bernama Jul berjalan membimbing anaknya Ronal(4th) samping menjujung jerigen minyak solar menuju rumahnya dari tepian mandi. Beberapa meter menjelang sampai ke rumahnya, orang bersorak memintanya hati-hati karena harimau baru saja terlihat di jalan yang sedang ia lewati. Mendengar sorak warga, Jul langsung mencampakkan jerigen dan berlari ke rumah begitu melihat harimau di dekatnya. Karena amat takut, dia lupa anaknya tinggal dekat harimau tersebut. Namun harimau tersebut tak mengganggunya.

Di samping itu, harimau itu seakan-akan mengerti pembicaraan manusia. Sebab, kalau ada orang baru datang ke kampung itu mengatakan ingin melihatnya, dia akan akan berusaha memperlihat bentuknya. Kalau ada orang rapat membicarakan solusi terbaik menangani masalah harimau ini, dia akan duduk atau berdiri di halaman rumah tempat orang bermusyawarah tersebut.

Selama memasuki kampung, tidak pernah sekalipun harimau ini mengeluarklan bunyi suaranya. Kalau biasanya harimau enggan bertatapan langsung dengan manusia, harimau ini biasa saja baginya menapat wajah manusia. Harimau yang biasanya mengkap dengan mulutnya kalau ingin memangsa makanan, harimau ini cukup hanya derngan cara mengangkap dengan tangannya saja. Beberepa ekor anak anjing yang dimakannya, selalu hanya diambilnya dengan tangannya dan setelah diambilnya dengan tangannya, baru disantapnya.

Untuk menangani kehadiran tamu tak diundang ini, telah datang ke Sungai Penuh, tim dari Balai Konservasi Sumber Daya Alam(BKSDA) Sumbar dimpimpin Rusdian, LSM dari Flora Faunaa Indonesia(FFI) dimpimpin Elfa, dari Perhimpunan Dokter Hewan Indonesia(PDHI) dipimpin drH Wisnu dari sejumlah tenaga teknis yang diperbantukan dari Taman Nasional Kerinci Seblat(TNKS).

Menurut tim tersebut kepada penulis, penyebab harimau ini memasuki kampung sangat dimungkinkan akibat dia baru saja dipisahkan oleh orang tuanya. Karena tidak dapat makan, dia terpaksa pergi ke perkamp-ungan guna mencari binatang piaraan masyarakat. “Harimau ini baru beranjak remaja”, kata drH.  Wisnu menjelaskan tentang harimau yang berbadan besar semampai itu.

Tindakan yang diambil tim ini, setelah melakukan pengamatan sambil mengusir dengan cara meletuskan meriam karbit di sejumlah penjuru setiap harimau memasuki kampung selama beberapa yang sama sekali tidak mempan, mulai Senin malam(19/5) mereka memasang perangkap. Pemasangan perangkap malam pertama gagal. Kendatipun umpan seekor anak anjing berhasil dimakan harimau tersebut, dan di dalam perangkap itu terlihat ada jejak kakinya ketika mengambil anak anjing itu, namun harimau tersebut tidak berhasil terperangkap. Begitu berhasil mengambil umpan, dia mengelilingi perangkap itu tiga kali yang disaksikan petugas dari tim teknis dan masyarakat setempat. Dan anehnya lagi, harimau ini tak takut berdiri sanytai di halaman rumah Kepala Jorong Akhiwar, mendengarkan masyarakat, tim penanggulangan harimau dan pihak Pemda yang diwakili Kadinas Kehutanan Solok Selatan Hamidi Munir melaksanakan rapat kilat doi dalam rumah. Dia santai saja tidur-tiduran dan kadang-kadang berdiri di halaman disaksikan masyarakat banyak.

Namun di malam kedua pemasangan perangkap, Selasa malam(19/5), harimau  aneh ini berhasil terperangkap sekitar pukul 06. Wib subuh, Rabu(20/5), dan telah dibawa pihak tim penanggulangan harimau dari perkampungan Sungai Penuh menuuju arah Padang Aro, ibu Kabupaten Spolok Selatan.

Menurut Wali Nagari Lubuk Ulang Aling Selatan, Thamrin Dt. Kampuang, selama peristiwa menakutkan ini terjadi, di samping upaya pengusiran dan penangkapan yang dilakukan tim yang dikoordinir BKSDA Sumbar, juga telah dilaksanakan upaya pengusiran melalui cara–cara tradisional sesuaikepercayaan masyarakat kampung setempat, seperti dengan cara membayar utang adat dan dengan berbagai bentuk pengusiran lainnya.Masyarakat telah memotong satu ekor sapi, dua ekorkambing dan bernazar satu ekor sapi yang akan dipotong sebelum bulan puasa nanti kalau masyarakat setemp-at selamat dari ancaman terkemanan harimau.

Wali Nagari Thamrin dan sejumlah tokoh adat serta tokoh masyarakat setempat berharap agar harimau ini tidak lagi ada yang menakutkaan seperti ini, supaya masyarakat bisa tenteram. Sebab menurut informasi, peristiwa ini belum pernah terjadi selama ini, meskipun perkampungan Sungai Penuh telah beratus-ratus tahun dihuni warganya.

Kepada masyarakat juga diharapkan agar jangan membuat hal-hal yang bisa ,menyebabkan harimau marah. Sejumlah masyarakat juga berharap, kiranya Pemda dapat segera datang melihat masyarakatnya kalau ada peristiwa seperti ini. Jangan biarkan masyarakat dicekam ketakutan sekian lama, baru Pemda turun. “Kami tahu pak Bupati sedang sakit, tetapi kan  ada pejabat lain yang bisa turun selain pak Bupati”, kata salah seorang warga yang tidak mau disebutkan namanya, sambil  mengacungkan jempol kepada Kapolsek Sangir Batang Hari yang begitu kejadian langsung turun tanpa peduli datang atau tidak dari pihak Pemda.

Dari sejumlah sumber informasi yang diterima penulis terakhir, di samping

Jorong Sungai Penuh, Nagari Lubuk Ulang Aling Selatan, pada beberapa tempat lain di Sangir Batang Hari, pun ada juga harimau ditemukan warga. Antara lain di Nagari Abai dan Nagari Lubuk Ulang Aling Tengah. Di Abai ada dua ekor harimau menurut informasi warga setempat yang semenjak beberapa hari terakhir ini sering ditemukan warga di perkampungan tersebut. Di Pulau Karam, Lubuk Ulang Aling Tengah, warga sedang menorah karet pun menemukan harimau sedang berdiri di pinggir pohon di kebun karet yang tengah ditorehnya.

Menurut Iskandar warga Pulau Karam, biasanya harimau sering ditemukan warga waktu bulan Rajab tiba, yang dikenal di sana dengan sebutan bulan membantai.”Tapi kini kok bermunculan harimau ke perkampungan warga. Pertanda apakah ini?”, kata Iskandar bertanya heran. ****

PEMILU CONTRENG CENTANG PRENANG

Oleh: Bustami Narda

Pemilihan Umum(Pemilu) legislatif telah berlangsung, Kamis 9 April baru lalu. Dengan tidak menutup mata, harus diakui bahwa banyak kelemahan di sana sini. Mulai dari kelemahan pada Daftar Pemilih Tetap(DPT) yang amburadul, yang mengakibatkan banyak pemilih tidak bisa menggunakan hak pilihnya karena tidak ada namanya dalam DPT, surat suara yang tertukar antara satu daerah pemilihan dengan daerah pemilihan lain, bahkan antara satu provinsi dengan provinsi lain dan kartu panggilan ganda, sampai pada kerumitan memilih yang sebelumnya dengan cara mencoblos berubah pada sistem contreng atau centang yang terkesan berujung kepada pelaksanaan Pemilu yang centang prenang.

Mungkin melihat kondisi inilah, Ketua Mahkamah Konstitusi, Mahfud. MD sampai mengemukakan pada pers yang ditayangkan televisi, menyatakan bahwa Pelaksanaan Pemilu kali ini jauh dari harapan.

Lagi-lagi memang harus diakui, bahwa sietem pelaksanaan Pemilu kali ini terlalu jauh dari kemampuan rata-rata pemilih Indonesia. Sisten contreng atau centang tampaknya belumlah tepat dilaksanakan di negara berkembang sepertri Indonesia ini. Negara yang banyak memiliki rakyat yang pendidikannya masih rendah bahkan buta huruf, rakyat yang masih tersedot tenaga dan pikirannya oleh urusan perut karena taraf perekonomian yang masih rendah, belumlah sepantasnya disuguhi sistem pemilihan serumit pelaksanaan Pemilu kali ini. Apalagi tak ada pula foto yang harusnya menjadi patokan bagi pemilih buta huruf. Ditambah lagi sosialisasi yang amat minim bahkan di desa-desa nyaris tak ada sama sekali. Dari pengalaman kita, dalam pemilihan Wakil Ketua DPRD Sumbar menggantikan kepemimpinan Wakil Ketua Masful yang berlangsung beberapa waktu sebelum pelaksanaan Pemilu baru lalu itu, ada juga anggpota DPRD yang salah dalam memilih. Padahal hanya memilih nama calon yang tidak cukup dengan hitungan jari jumlahnya dan dilakukan oleh anggota DPRD pula. Dapat dibayangkan pada Pemilu dengan calon, partai dan tingkatan lembaga legislatif yang akan ditentukan pemilih demikian banyak. Mulai dari kerumitan memilih 38 partai yang amat memusingkan sampai pada tingkatan lembaga yang dipilih demikian banyak, dari lembaga legislatif tingkat Kabupaten/Kota, Provinsi, pusat sampai pada Dewan Perwakilan Daerah(DPD).

Wajar agaknya kalau ada rakyat menyeletuk, mengatakan bahwa UU No.10/2008 tentang Pemilu yang mengatur Pemilu kali ini dibuat oleh wakil rakyat yang tidak merasa mewakili rakyat. Sebab tidak disadarinya bahwa kemampuan rata-rata rakyatnya dalam memilih belum sepantasnya disuguhi sistem pemilihan serumit ini.

Kedewasaan Rakyat

Namun satu hal yang perlu dicatat, Pemilu kali ini sungguh sebuah pembuktian bahwa rakyat Indonesia sudah dewasa dalam sisi politik. Setidaknya penilaian ini terlepas dari kemungkinan apatisnya rakyat terhadap percaturan perpolitikan bangsanya.

Mulai semenjak pelaksanaan kampanye sampai kepada pelaksanaan pencontrengan atau pencentangan, boleh dikatakan sedikit terjadi konflik yang berarti yang sifatnya mengganggu kelancaran pelaksanaan Pemilu. Akibatnya, boleh dikatakan nyaris terhindar tanah negeri ini dari ceceran darah dalam Pemilu kali ini.

Kedewasaan rakyat, kelihatannya telah mampu menghindari Pemilu kali ini dari berbagai konflik yang dicemaskan banyak pihak sebelum pelaksanaan Pemilu berlangsung. Bahkan protes pun nyaris tak terdengar di TPS-TPS saat berlangsung pencontrengan dan pencentangan.

Jiwa Besar Caleg

Kini, setelah jiwa besar rakyat tampak dengan nyata, jiwa besar para Calon Legislatif(Caleg)lah agaknya yang amat ditunggu rakyat lagi, dalam menyikapi hasil Pemilu ini. Apakah mereka siap kalah dan siap menang, ataukah hanya siap menang saja tanpa siap kalah ? Kecil dan besar jiwanyalah yang menentukan sikap para politisi kita ini dalam menghadapi kemenangan atau kekalahan yang mereka terima.

Dalam hal ini, mungkin ada pula baiknya pendapat DR. Dino Patti Djalal dalam bukunya berjudul,” Harus Bisa” yang bercerita tentang ala memimpin Presiden RI, SBY yang menyebutkan, bahwa ada pepatah mengatakan, kalau ingin melihat watak seorang pemimpin, simaklah perilakunya sewaktu ia kalah. Dalam ajaran agama sekalipun, kuat atau lemahnya keimanan seseorang akan terlihat manakala ia mendapatkan cobaan dan ujian, bukan hanya sewaktu ia mendapatkan nikmat dan kesenangan.

Dengan demikian dapat dikatakan, bahwa orang beriman akan tetap tenang jiwanya ketika menerima ujian atau cobaan. Orang tidak baik perilakunya, ia akan sombong ketika menerima kemenangan dan akan hilang keseimbangan jiwanya ketika menerima kekalahan.

Jadi, bagi orang yang berperilaku baik, yang keimanannya teguh, yang tidak hanya sekadar ta’at sembahyang, termasuk juga yang tidak hanya sekadar pandai berda’wah supaya digelari ustad atau ustazah, kalah dan menang adalah permainan biasa dunia. Habisnya uang, lelahnya badan dalam sebuah kompetisi politik, taklah akan membuatnya patah arang, stress, depresi apalagi sampai gila. Dia akan menyimpulkan, bahwa adat muda menanggung rindu, adat teluk timbunan sampah, adat gunung tumpuan kabut, adat kompetisi politik kalah dan menang. Tidak ada yang perlu dibawa bermenung berlama-lama. Yang sudah biarlah berlalu. Anggap saja kemenangan yang tertunda.

Perdana Menteri Inggris Winston Churchill pernah dikalahkan amat menyakitkan oleh Clement Atlee dalam Pemilu Inggris tahun 1945. Tetapi politisi ini segera bangkit, sehingga dalam Pemilu tahun 1951 Clement Atlee meraih kemenangan amat pantastis.

.Semoga tulisan ini mampu menjadi obat penawar bagi Caleg yang menang dan kalah, sehingga yang menang tidak sombong dan yang kalah tidak putus asa. Yang menang menyadari bahwa beban berat menanti karena harus bekerja keras untuk rakyat dan yang kalah akan menyadari bahwa masih ada hari esok dan tak hanya satu ini jalan hidup bagi manusia oleh Yang Maha Kuasa. ****

PEMILU YANG MENGGELISAHKAN

Direktur Lembaga Kajian dan

Konsultasi Komunikasi Republik Indonesia(LK3RI)

e-mail: bustami_narda@yahoo.com

Hari “H” Pemilihan Umum (Pemilu) legislatif, tanggal 9 April 2009, tinggal lagi hanya dalam hitungan hari. Kesibukan para Calon Legislatif(Caleg), baik untuk DPRD Kabupaten/Kota dan Provinsi, DPR-RI maupun DPD, makin hari tampak semakin memuncak. Paling tidak, situasi ini dapat dilihat dari sisi semakin dipenuhinya jalan-jalan, tiang-tiang listrik dan telepon, pohon-pohona kayu, dinding-dinding sebagian rumah penduduk dan tempat-tempat terluang lainnya oleh gambar-gambar para Caleg, baik yang terpampang dalam ukuran baliho dan spanduk maupun poster. Bahasa ajakannya berbagai rupa, yang disamping banyak terkesan mengagumkan, tak jarang pula terasa menggelikan. Tampilan para Caleg-nyapun berbagai rupa pula. Ada yang tersenyum, ada yang terkekeh(ketawa ngakak), ada yang mengacungkan tinju dan ada pula yang tampil dengan wajah seram seperti sedang marah dengan mata terbelalak.

Di sisi lain, kesibukan Komisi Pemilihan Umum(KPU) mulai dari tingkat pusat sampai ke daerah, pun tampak tak kalah pula tinggi intensitasnya. Pelaksana Pemilu ini terlihat seperti tak peduli siang dan malam dalam mempersiapkan segala sesuatu berkaitan dengan kesuksesan Pemilu ini. Pihak Pengawas Pemilu(Panwaslu), pun demikian pula.

Terlepas dari semua ini, satu hal yang menarik untuk dibicarakan dalam perjalanan Pemilu kali ini adalah tidak seimbangnya kesibukan ketiga institusi itu tadi dengan kesibukan rakyat dalam menyambut pesta limatahunan demokrasi ini.

Kita semua mungkin dapat merasakan, bagaimana “dinginnya” rakyat dalam menyambut Pemilu kali ini. Apabila kita naik Angkot atau Bus Kota, kita sulit sekal mendengar orang di kiri kanan kita berbicara tentang Pemilu. Apabila kita minum kopi di warung-warung sampai ke restoran, jarang sekali terdengar orang berbicara tentang Pemilu.

Ketika baru-baru ini penulis bertanya tentang Pemilu kepada beberapa orang penumpang Angkot dan Bus Kota di Kota Padang dan Jakarta, dengan jawaban hampir senada, mereka mengatakan tak mau tahu dan tak ingin terlibat dengan Pemilu. Menurut mereka, Pemilu tak akan banyak membawa perubahan kepada nasib mereka. Mereka sudah muak dengan janji-janji yang tak ada kenyataannya. Mendingan sibuk cari beras, ketimbang ikut-ikutan soal Pemilu. Ketika ditanya tentang cara memilih calon, mereka malah tambah bingung. Mereka sepertinya tak tahu sama sekali dengan contreng dan segala macam itu. Menurut mereka, mencoblos saja dalam Pemilu-Pemiu lalu banyak juga salahnya. Apalagi dirubah pula dengan cara lebih rumit yang minim sosialisasi.

Komunikasi

Melihat kepada Pemilu kali ini, di samping cara memilihnya bertambah rumit atau sulit, sekaligus juga miskin sosialisasi. Artinya, tidak terjadi komunikasi yang memuaskan antara pelaksanaan Pemilu dengan rakyat yang akan terlibat langsung sebagai pemilih.

Fenomena inilah saah satu penyebab dari apatisnya rakyat. Akibat miskinnya komunikasi antara Pemilu dengan pemilih itu sendiri, pemilih merasa tidak perlu terlibat dengan Pemilu. Dan hal ini amat besar dampak negatifnya terhadap kesuksesan Pemilu nanti, jika tidak dapat teratasi krisis komunikasi ini menjelang hari “H” Pemilu yang tinggal lagi hanya menghitung hari.

Kita dapat tentunya membayangkan, dalam waktu dekat ini rakyat pemilih haruslah memahami cara memilih yang selama ini cukup hanya dengan mencoblos tanda gambar Caleg dengan cara mecontreng nama Caleg(kecuali Caleg DPD yang masih pakai tanda gambar tetapi dengan cara mencontreng), dengan sejumlah ketentuan jika salah bisa membuat suara hangus atau tidak sah.

Kita harus menyadari, bahwa pemilih yang buta huruf akan mengalami kesulitan dengan mencontreng nama ini. Jika tidak hati-hati, kekeliruan atau pengkibirian memilih terhadap seseorang akan sangat mudah terjadi terhadap pemilih buta huruf. Sama halnya dengan pemilih buta mata. Sebab bisa saja terjadi, dia ingin mencontreng si “A”, diarahkan ke si B oleh pendamping yang menginginkan si B.

Melihat kondisi cara memilih yang terumit di dunia ini, ditambah lagi dengan sosialisasi yang amat minim dan partisipasi masyarakat yang amat rendah dalam Pemilu kali ini, jika kerja keras berbagai pihak yang terlibat dalam Pemilu tahun 2009 ini banyak rintangan, dapat agaknya dikatakan Pemilu 2009 ini Pemilu yang menggelisahkan, terutama menggelisahkan bagi rayat.

Sebab, jika Pemilu ini sempat tak sukses, besar kemungkinan dampak negatifnya akan semakin membuat rakyat makin terpuruk, terutama di sisi ekonomi. Namun mumpung masih ada waktu, terlepas dari kekurangan dan kelebihan pelaksanaan Pemilu ini, agaknya rakyat masih punya kesempatan untuk turut saecara bersama-sama, secara keseluruhan, berpartisipasi aktif menyukseskan pesta demokrasi lima tahunan ini.

Jadi, rakyatlah lagi agaknya yang harus turun tangan secara bersama-ama mengkomunikasikan tata cara dan pentingnya ikut serta dalam Pemilu ini kepada sesama rakyat. Ke depan, pihak yang terlibat dalam pelaksanaan Pemilu di negeri ini, agaknya akan lebih menyadari, bahwa komunikasi dalam hal ini amatlah penting. Bahkan mungkin jauh lebih penting ketimbang memperdebatkan pasal demi pasal regulasi tentang Pemilu, yang terkadang perdebatan ini tidak demi rakyat, tetapi demi kepentingan pribadi dan golongan para elite politik saja.***

“KEPENGURUSAN HMI PADANG PANJANG DILANTIK”

Padang Panjang. Maret.

Kepengurusan Himpunan Mahasiswa Islam(HMI) Cabang Padang Panjang periode tahun 2009-2010 di bawah kepemimpinan Ketua Umum Ichsan, Sekretaris Umum Rahmayani dan Bendahara Umum Ria Febriani, Sabtu(21/3) telah dilantik oleh Ketua Umum Badan Koordinasi(Badko) HMI Sumbar, Rifi Marta Desta, di gedung M. Syafei, Padang Panjang.

Sesuai dengan Surat Keputusan Pengurus Besar(PB) HMI pusat, No: 83/A/KPTS/01/1430 H, yang ditandatangani Ketua PB HMI, Arip Musthopa dan Sekretaris Jenderal Ahmad Nasir Siregar, Ketua Umum Ichsan diperkuat 6 Ketua Bidang, terdiri dari Ketua Bidang Pembinaan Anggota Herli Deswita, Ketua Bidang Pembinaan Aparatur Organisasi Suykandar, Ketua Bidang Kewirausahaan dan Pengembangan Profesi Robby Defriansyah, Ketua Bidang Pemberdayaan Perempuan Vera Oktacianti, Ketua Bidang Pergfuruan Tinggi Kemahasiswaan dan Pemuda Nina Amelia dan Ketua Bidang Partisipasi Pembangunan Daerah dan Pemberdayaan Umat Nelvi Yerni.

Sekretaris Umum dibantu 6 Wasekum pula, yang namanya sama seperti nama bidang-bidang yang ada pada ketua bidang di atas, yang masing-masing terdiri dari Susri Yanti, Ofri Mulyanis, Nefi Syakriah, Maulida, Dona Agustianti dan Fitri Anjani. Sedangkan Bendahara Umum dibantyu seorang Wakil Bendahara Umum, Elvi Rahmi.

Walikota Padang Panjang diwakili Kepala Dinas Sosial dan Tenaga Kerja(Sosnaker), Drs. Bustami Narda dalam sambutannya antara lain menekankan, bahwa partisipasi aktif HMI Cabang Padang Panjang dalam setiap gerak langkah pembangunan kota serambi Mekah ini ke depan, semakin sangat diharapkan.

Ada dua hal kata Bustami Narda yang membuat eksistensi HMI amat strategis di Padang Panjang. Pertama, HMI sebagai sebuah organisasi mahasiswa yang sudah jelas berisikan orang-orang yang mengedepankan intelektual amat penting artinya di Kota Padang Panjang yang selama ini telah nyata-nyata sebagai kota pendidikan. Kedua, HMI sebagai organisasi mahasiswa yang nyata-nyata menyatakan organisasinya himpunan mahasiswa yang beragama Islam sangat tepat dengan Padang Panjang yang telah menyatakan dirinya sebagai Kota Serambi Mekahg.

Dengan demikian, ke depan kata Bustami Narda, HMI Cabang Padang Panjang diharapkan akan semakin mampu mengambil berbagai peran dalam memajukan Kota Padang Panjang baik dalam bentuk fisik maupun mental. Kerja sama yang baik antara pemerintah kota dengan HMI Cabang Padang Panjang ke depan diharapkan akan semakin terjalin secara intensif dan berkelanjutan.

Ketua Umum Badko HMI Sumbar, Rifi Marta Desa dalam sambutannya mengharapkan agar HMI Cabang Padang Panjangke depan mampu menjadi baro meter bagi kemajuan perkembangan HMI pada cabang-cabang lainnya di Provinsi Sumbar, karena dia beraDA DI Kota Serambi Mekah yang jelas-jelas kota basisnya HMI.

Karenanya, HMI Cabang Padang Panjang harus mampu memperlihatkan eksistensinya di tengah-tengah masyarakat, harus mampu menjadi teladan bagi orang banyak dan harus mampu menjadi sebuah organisasi yang diperhitungkan berbagai pihak, termasuk Pemerintahan Kota Padang Panjang.

Ketua Umum DPD. KNPI Kota Padang Panjang, Novi Hendri, SE, MSi dalam sambutannya, juga berharap agar aktivitas HMI Cabang Padang Panjang ke depan semakin nampak, sehingga HMI menjadi sebuah OKP yang selalu menjadi ukuran kemajuan bagi OKP lain di lingkungan KNPI Pdang Panjang.

Kerja sama yang baik antara HMI selaku sebuah OKP dengan KNPI selama ini, ke depan diharapkan Novi semakin akan terjalin makin erat, sehingga KNI Padang Panjang ke depan semakin mampu berperan aktif di tengah-tengah masyarakat. Selaku Ketua KNPI, Novi Hendri pada kesempatan ini juga menyatakan akan membantu HMI Cabang Padang Panjang dengan membelikan seluruh pengurus HMI Cabang Padang Panjang yang baru dilantik ini jaket lengkap dengan tulisan nama dan logi HMI. Turut hadir dan memberikan sambutan dalam kesempatan ini Presedium KAHMI Cabang Panjang Panjang, Feri S. Amir. ***