1.1 Judul : Peranan Pers dalam Pembangunan Kota Padang Panjang Dilihat Dari
Perspektif Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999.
1.2 Latar Belakang
Berakhirnya era Orde Baru yang diktator tahun 1998, yang digantikan oleh era reformasi yang ditandai dengan demokrasi, membuat fenomena dari dunia pers di Negara Republik Indonesia bergeser dari yang sebelumnya terkekang kepada dunia pers yang bebas. Pergeseran perkembangan dunia pers ini ditandai dengan lahirnya Undang-undang Nomor 40 Tahun 1999 Tentang Pers, menggantikan Undang-undang Nomor 21 Tahun 1982 Tentang Perubahan atas Undang-undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 1966 Tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pers.
Seperti dijelaskan dalam Kamus Lengkap Bahasa Indonesia, Karangan Indrawan WS, Penerbit Lintas Media Jombang, diktator adalah berarti, “Kekuasaan yang tak terbatas”. Dengan ini, ada beberapa indikator yang dapat membuktikan bahwa Orde Baru adalah orde diktator, sebagai berikut : Pertama, penguasa bebas melakukan apa saja yang diinginkannya, tanpa perlu memperhatikan batasan-batasan kewenangannya. Kedua, penguasa bisa sewenang-wenang bertindak, tanpa mempedulikan aturan yang ada, apabila ada hal-hal yang menurutnya bisa mengganggu kelanggengan kekuasaannya. Ketiga, dengan dalih stabilitas keamanan, penguasa di era ini bisa mencabut Surat Izin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP) suatu media massa, apabila dia menilai akan pemberitaannya menjurus pada kritikan terhadap penguasa, dan beberapa hal lainnya. Banyak media yang mengalami pencabutan SIUPP di era ini. Antara lain Majalah Tempo, Tabloid Detik dan beberapa media lain.
Kalau diperbandingkan antara diktator dengan demokrasi, sungguh jelas sekali perbedaannya. Jika Indrawan WS dalam Kamus Lengkap Bahasa Indonesia yang diterbitkan Lintas Media Jombang memberikan pengertian dikator adalah kekuasaan yang tak terbatas, maka dalam kamus yang sama Indrawan WS menjelaskan bahwa demokrasi adalah berarti,” Pemerintahan rakyat oleh rakyat dan untuk rakyat”. Kalau pada era kekuasaan yang dikendalikan oleh pemerintahan yang dikator penguasa bisa berbuat bebas sesuai dengan keinginannya dan hanya berpegang pada prinsip bagaimana agar kekuasaan pemerintahannya selalu langgeng dan tetap bertahan, pada kekuasaan yang dikendalikan pemerintahan demokrasi, penguasa dalam menjalankan pemerintahan selalu berpegang teguh kepada prinsip untuk kepentingan rakyat dan tunduk serta patuh kepada ketentuan yang berpihak kepada rakyat.
Untuk lebih memperjelas tentang perbandingan antara demopkrasi dan diktator di sini, dapat dikemukakan di sini pendapat Prof. DR. Moh. Mahfud MD, S.H., S.U., dalam bukunya berjudul,” Demokrasi dan Konstitusi di Indonesia. Studi Tentang Interaksi Politik dan Kehidupan Ketatanegaraan” yang diterbitkan penerbit Rineka Cipta pada halaman 19, yang menyatakan bahwa demokrasi mempunyai arti penting bagi masyarakat yang menggunakannya sebab dengan demokrasi hak masyarakat untuk menentukan sendiri jalannya organisasi negara dijamin. Oleh sebab itu, menurutnya hampir semua pengertian yang diberikan untuk istilah demokrasi ini selalu memberikan posisi penting bagi rakyat kendati secara operasional implikasinya di berbagai negara tidak selalu sama. Berpedoman kepada pendapat Prof. DR. Moh. Mahfud MD, S.H., S.U. ini, maka dapat dikatakan bahwa otoriter adalah kebalikan dari demokrasi[7].
Undang-undang Nomor 40 Tahun 1999 telah membuat pers Indonesia berada pada tataran pers yang memiliki kemerdekaan sebagaimana yang telah diimpikan selama berpuluh-puluh tahun oleh rakyat Indonesia. Pers Indonesia yang selama berpuluh-puluh tahun terkekang, yang antara lain karena adanya keharusan memiliki SIUPP, yang sewaktu-waktu bisa saja dicabut oleh penguasa apabila dinilai dapat mengganggu kelanggengan kekuasaannya, dengan dalih mengganggu ketertiban umum, dengan lahirnya Undang-undang Nomor 40 Tahun 1999, SIUPP tidak berlaku lagi untuk penerbitan sebuah media massa.
Artinya, penguasa tidak lagi bisa membredel pers dengan dalih apapun juga. Pers sudah bisa menghirup udara kemerdekaan, sesuai dengan prinsip-prinsip kehadiran sebuah pers di Negara demokrasi. Di samping itu, dengan lahirnya Undang-undang Nomor 40 Tahun 1999, wartawan telah bisa bebas memilih organisasi profesi pers, sehingga tidak lagi satu-satunya Persatuan Wartawan Indonesia(PWI) organisasi wartawan.
Apabila ditelusuri kembali ke belakang, kebebasan pers yang lahir melalui Undang-undang Nomor 40 Tahun 1999 ini, adalah merupakan wujud nyata dari keinginan pasal 28, ayat 1 Undang-Undang Dasar 1945, yang berbunyi, “ Kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan Undang-undang”.
Undang-Undang Dasar 1945, khususnya pasal 28, telah dengan tegas menyatakan bahwa kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dan lisan dan tulisan dijamin oleh Negara. Kalau masih ada kekangan dalam menyuarakan hati nurani rakyat melalui pers, berarti kemerdekaan mengeluarkan pikiran dengan tulisan berarti belum lagi dapat diwujudkan.
Kalau belum dapat diwujudkan, berarti Bangsa Indonesia belum lagi memakai Undang-Undang Dasar 1945 secara murni dan konsekwen, terutama dari sisi kemerdekaan menikmati kebebasan pers.
Kemerdekaan menikmati kebebasan pers ini sungguh sangat penting artinya dalam kawasan yang lebih luas daripada sekadar memenuhi keinginan rakyat Indonesia semata, tetapi sekaligus juga telah menjadi kebutuhan bagi masyarakat dunia. Karena itu, kalau Negara Indonesia tidak memberikan kebebasan pers ini kepada rakyatnya, Indonesia akan tersisih dari pergaulan dunia. Karena itu, lahirnya Undang-undang Nomor 40 Tahun 1999, sekaligus telah dapat menyahuti keinginan masyarakat dunia.
Pers yang memiliki kemerdekaan untuk mencari dan menyampaikan informasi juga sangat penting untuk mewujudkan Hak Asasi Manusia yang dijamin dengan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor XVII/MPR/1998 tentang Hak Asasi Manusia, yang antara lain menyatakan bahwa setiap orang berhak berkomunikasi dan memperoleh informasi sejalan dengan Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hak Asasi Manusia Pasal 19 yang berbunyi:” Setiap orang berhak atas kebebasan mempunyai dan mengeluarkan pendapat; dalam hal ini termasuk kebebasan memiliki pendapat tanpa gangguan, dan untuk mencari, menerima, dan menyampaikan informasi dan buah pikiran melalui media apa saja dan dengan tidak memandang batas-batas wilayah”.
Dalam konteks ini, maka dapat dilihat bahwa kebebasan pers sungguh sangat penting artinya bagi seluruh warga masyarakat, tanpa ada kecualianya, terutama dalam upaya meningkatkan pembangunan di segala bidang. Sebab, wujud dari pencapaian pembangunan dalam sebuah bangsa adalah pencerdasan bangsa itu sendiri. Sebuah bangsa akan bisa cerdas apabila rakyatnya memilki ilmu pengetahuan. Ilmu pengetahuan akan bisa diperoleh seluruh rakyat dalam sebuah bangsa apabila bangsa tersebut memberikan kebebasan kepada rakyatnya dalam memperoleh informasi. Karena informasi yang paling banyak itu bisa diperoleh melalui pers, dengan alas an pers memilik profesi mencari, mengumpulkan dan menyebarkan informasi, maka kebebasan pers dalam sebuah bangsa mutlak harus dapat diciptakan.
Bilamana dalam suatu bangsa atau dalam suatu kelompok masyarakat sekecil apapun masih ada keterkekangan informasi atau tidak tercipta kebebasan pers, akan sangat sulit mencapai target pembangunan dalam bangsa dan kelompok masyarakat tersebut.
Lebih tragisnya lagi, kalau saja masih ada keterkekangan pers dalam suatu bangsa atau kelompok masyarkat sekecil apapun juga, berarti pada bangsa dan kelompok masyarakat tersebut telah terjadi penghilangan terhadap hak asasi manusia.
Selama kebebasan pers terbelenggu di Negara Kesatuan Republik Indonesia, baik di era Orde Lama maupun di era Orde Baru, selama itu pulalah hak asasi manusia turut terbelenggu di negeri ini.
Namun di sisi lain, tidak pula dapat ditutup mata, bahwa semenjak lahirnya Undang-undang Nomor 40 Tahun 1999, kebebasan pers yang terkesan tidak lagi ada batasnya, telah membuat sebagian orang memanfaatkannya untuk hal-hal yang merugikan pihak lain.
Dengan kebebasan pers yang sama sekali tidak lagi ada aturan yang mengontrolnya, masyarakat menjadi resah karena pemberitaan pers. Ini disebabkan penerbitan pers dan perekrutan wartawan tak lagi ada seleksinya.
Orang yang sama sekali tidak punya latar belakang pers, dengan lahirnya Undang-undang Nomor 40 Tahun 1999 boleh mendirikan media. Orang yang sama sekali tidak memiliki latar belakang pers, tanpa ada aturan yang mengatur perekrutannya, dia boleh saja memiliki kartu pers. Dia boleh saja membanggakan diri bahwa dia adalah seorang wartawan.
Fenomena ini membuat pemberitaan pers menjadi sangat sulit membedakan mana yang berita benar-benar objektif dan mana pula yang berita hanya sekadar informasi sekadar untuk melepaskan sakit hati, atau hanya sekadar untuk menjelek-jelekkan orang lain.
Undang-undang Nomor 40 Tahun 1999 seakan-akan telah menjadi alat untuk memanfaatkan kesempatan menerbitkan pers dan menjadi wartawan bagi sebahagian orang, yang tanpa mempedulikan ketentuan-ketentuan hukum lainnya.
Misalnya, poin 4 Kode Etik Wartawan Indonesia mengatakan, ”Wartawan Indonesia tidak menyiarkan informasi yang bersifat dusta, fitnah, sadis dan cabul, serta tidak menyebutkan identitas korban kejahatan susila.”
Namun demikian, dengan lahirnya Undang-undang Nomor 40 Tahun 1999, kebebasan pers telah dapat diwujudkan di Negara kesatuan Republik Indonesia secara menyeluruh, mulai dari tingkat pusat, provinsi, kabupaten/kota sampai ke tingkat kelompok masyarakat paling kecil.
Khusus di kabupaten/kota, sebagai daerah yang memiliki hak otonomi daerah, kebebasan pers yang ada saat ini benar-benar dapat dirasakan manfaatnya, terutama dalam mewujudkan pembangunan kabupaten/kota bersangkutan.
Lebih khusus lagi, untuk Kota Padang Panjang, kebebasan pers sungguh sangat terasa dampaknya bagi pembangunan di kota ini, terutama apabila dikaitkan dengan keberadaan kota ini sebagai kota pendidikan, di mana tingkat kecerdasan masyarakatnya sudah tergolong tinggi. Di samping itu, sekaligus sangat terasa pula dampaknya kelahiran Undang-undang Nomor 40 Tahun 1999 bagi Kota Padang Panjang, apabila dikaitkan dengan keberadaan kota tersebut yang sangat egaliter karena kota ini terkenal sebagai Kota Serambi Mekah yang merupakan gudangnya ulama dan tempat ulama-ulama besar tingkat nasional dan internasional pernah berkiprah dan menuntut ilmu.
Dalam sebuah kota yang merupakan kota pendidikan, terutama pendidikan agama dan gudangnya ulama-ulama besar seperti Kota Padang Panjang, kebebasan pers sungguh sangat terasa dampaknya.
Bagi masyarakat Kota Padang Panjang, kebebasan mendapatkan informasi sama besar artinya dengan kebebasan berdemokrasi, karena sehari-hari masyarakatnya lebih banyak berkiprah sebagai ulama, pendidik, mahasiswa, mahasiswi, santri, pelajar dan politisi.
Berdasarkan latar belakang di atas, maka disusunlah proposal penelitian ini dengan judul, ”Peranan Pers Dalam Pembangunan Kota Padang Panjang Dilihat Dari Perspektif Undang-undang Nomor 40 Tahun 1999”.
1.3 Identifikasi Masalah
Penelitian mengenai Peranan pers dalam pembangunan Kota Padang Panjang dilihat dari sisi perspektif Undang-undang Nomor 40 Tahun 1999 ini akan menjawab pertaanyaan-pertanyaan, sebagai berikut :
- Bagaimana pengaturan pers dalam menempatkan perannya terhadap pembangunan Kota Padang panjang menurut Undang-undang Nomor 40 Tahun 1999 ?
- Bagaimana peranan pers dalam pelaksanaan pembangunan Kota Padang Panjang di era kebebasan pers sekarang ?
- Apa hambatan dan kendala yang ditemui dan apa pula upaya yang ditempuh dalam mengatasi hal tersebut ?
1.4 Tujuan Penelitian
Penelitian tentang peran pers dalam pembangunan Kota Padang Panjang dilihat dari sisi perspektif Undang-undang Nomor 40 Tahun 1999 ini mempunyai tujuan, sebagai berikut :
- Untuk mengetahui sejauh mana peranan pers dalam pembangunan Kota Padang Panjang dilihat dari sisi perspektif Undang-undang Nomor 40 Tahun 1999.
- Untuk mengetahui dampak peran pers dalam era kebebasan pers sekarang ini dalam pembangunan Kota Padang Panjang.
- Untuk mengetahui hambatan dan kendala yang ditemui dan upaya yang dilakukan untuk mengatasi hal tersebut.
1.5 Kegunaan Penelitian
Sebagaimana penelitian-penelitian yang dilakukan pada umumnya, penelitian yang dilakukan ini mempunyai dua kegunaan, sebagai berikut :
- Kegunaan secara teoritis. Diharapkan penelitian ini akan dapat memberikan sumbangan pemikiran terhadap pengembangan ilmu pengetahuan secara hukum tentang pers, khususnya tentang peranan pers terhadap pembangunan dilihat dari sisi perspektif Undang-undang nomor 40 Tahun 1999 di Kota Padang Panjang.
- Kegunaan Secara Praktis. Hasil penelitian ini diharapkan akan menjadi sumbangan penulis bagi pelaksanaan Undang-undang Nomor 40 Tahun 1999 dan kaitannya dengan pembangunan di Kota Padang Panjang.
1.6 Kerangka Teoritis dan Konseptual
Kerangka Teoritis
Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), didirikan berdasarkan atas hukum. Pancasila sebagai dasar Negara dan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 adalah landasan konstitusional negara.
Dengan demikian, berarti Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah negara yang menempatkan hukum pada posisi yang sangat penting. Pada intinya, pemerintahan negara ini dijalankan berdasarkan atas hukum.
Pada setiap hukum dikesampingkan, pada saat itu pulalah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) ini akan goncang, seperti biduk yang oleng digoncang ombak di tengah lautan luas, yang ditempati 200 juta lebih jiwa manusia.
Pengalaman telah membuktikan, beberapa kali pemerintahan Negara Indonesia tidak dijalankan berdasarkan atas hukum, baik di era Orde Lama maupun di era Orde Baru, semuanya berakhir dengan goncangan yang sangat memilukan. Era Orde Lama berakhir dengan tragis. Ini disebabkan hukum tidak lagi menjadi acuan perjalanan bangsa. Contohnya, Presiden diputuskan seumur hidup, yang benar-benar menyalahi Undang-Undang Dasar 1945. Pancasila diperas menjadi Trisila dan Komunis yang benar-benar bertentangan dengan Pancasila dibiarkan tumbuh dan berkembang.
Era Orde Baru pun berakhir dengan tragis. Pemimpin kuat di era Orde Baru, Soeharto, berhenti dari jabatannya setelah didesak gelombang unjuk rasa selama berhari-hari. Ini adalah lagi-lagi disebabkan karena Pemerintahan Negara tidak lagi dijalankan berdasarkan atas hukum. Pemilihan Umum yang dilaksanakan di era Orde Baru, tidak lagi berjalan jujur dan adil. Peradilan dijadikan barang dagangan. Korupsi merajalela. Pada pokoknya Korupsi Kolusi dan Nepotisme (KKN) menjadi pemandangan biasa di tengah-tengah masyarakat.
Gerakan yang muncul kemudian dan menjadi arus utama gerakan rakyat adalah gerakan yang menyerukan reformasi. Laksana genderang yang ditabuh bertalu-talu, suara anti korupsi, kolusi dan nepotisme menggema di mana-mana. Tiga kata yang disulam menjadi KKN itu dialamatkan kepada Presiden Soeharto. Penilaian rakyat terhadap Pak Harto sebagai pemimpin tidak berhasil memberantas korupsi bahkan sebaliknya membiarkan penyakit ini merajela di lingkungan pemerintahan pusat dan daerah, oknum pejabat tertinggi sampai kepala desa di level paling bawah, termasuk keluarga dan kroninya.[8]
Dengan ini telah terbukti, bahwa setiap era kekuasaan pemerintahan negara ini dijalankan keluar dari koridor hukum, akan berakhir dengan tragis dan sekaligus akan berakhir dengan kesengsaraan rakyat. Karena itu, apabila dikaitkan dengan keberadaan pers di Indonesia di era reformasi sekarang, maka kebebasan pers yang dicapai saat ini, haruslah kebebasan pers yang berada dalam koridor hukum. Bukan kebebasan pers yang tanpa ada aturan. Apabila kebebasan pers tidak lagi berada dalam koridor hukum yang berlaku, liar tanpa ada kendali sama sekali, maka kebebasan pers ini akan berubah menjadi mudarat dan akan berakhir pula secara tragis nanti. Dengan demikian, peranan hukum bagi perjalanan pers yang bebas sekarang ini sungguh sangat penting artinya. Sebab, pers yang tidak diatur oleh hukum akan menjadi liar dan akan memakan korban di tengah-tengah masyarakat.
Karena itu, sebagaimana dikatakan oleh Prof. Oemar Seno Aji, SH, bahwa adalah sangat esensial untuk mengembangkan pengertian hokum tentang pers yang bebas dan bertanggungjawab, yang kesemuanya menjadi tanggungjawab dan kewajiban para penegak hokum. Sedangkan ilmu hokum dan yurisprudensi dapat ikut serta dalam pengembangannya, khususnya jika terdapat gejala bahwa perundang-undangan sendiri tidak menjajarkan diri dengan perkembangan masyarakat.[9]
Jadi, hukum bagi pers benar-benar esensial. Pers tidak bisa dilepaskan dari hukum. Pers yang lepas dari hukum, sama dengan keberadaan seekor harimau di rimba raya. Di samping dia akan menerkam mangsanya, bisa juga dia sendiri yang terkena jerat atau masuk perangkap. Sebuah pers yang hidup tanpa kendali, dia bisa hidup seperti seorang raja pembunuh yang sadis dan bisa juga bangkrut sendiri karena tidak dipercaya oleh pembaca.
Apabila kita perhatikan dari sisi hukum, hukum di negara Indonesia sudah mengatur sedemikian rupa dalam hal pers. Dalam ketentuan-ketentuan hukum pidana yang ada kaitannya dengan media massa, sudah jelas-jelas diatur tentang pers dalam pasal-pasalnya. Dalam pasal 155 ayat (1) dikatakan, “Barang siapa menyiarkan, mempertunjukkan atau menempelkan tulisan atau lukisan di muka umum yang mengandung pernyataan perasaan permusuhan, kebencian atau penghinaan terhadap Pemerintah Indonesia, dengan maksud supaya isinya diketahui atau lebih diketahui oleh umum, diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun enam bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah”.
Di sini jelas-jelas ditegaskan bahwa di dalam menyiarkan sebuah informasi yang bisa menimbulkan rasa permusuhan, kebencian atau penghinaan akan berhadapan dengan hukum dan akan mendapatkan sanksi ancaman hukum cukup berat.
Pada sisi lain, Pers yang meliputi media cetak, media elektronik dan media lainnya pada dasarnya juga merupakan salah satu sarana untuk mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan. Oleh sebab itu, agar pers dapat berfungsi secara maksimal sebagaimana diamanatkan pasal 28 UUD 1945 tersebut, maka perlu dibentuk Undang-undang tentang pers. [10]
Pada dasarnya, esensi kegiatan menulis sebuah berita bagi pekerja pers atau wartawan adalah untuk melaporkan seluk-beluk sebuah peristiwa yang telah, sedang atau aklan terjadi. Melaporkan di sini, artinya adalah menuliskan apa yang dilihat, didengar, atau dialami seseorang atau sekelompok orang. Berita itu ditulis wartawan adalah sebagai rekonstruksi tertulis dari apa yang terjadi. Fenomena ini tidak jauh berbeda dengan laporan untuk media elektronik seperti radio dan televisi.
Menurut Ashadi Siregar dkk, peristiwa perlu diberitakan paling tidak berdasarkan dua alasan, yaitu untuk memenuhi tujuan politik keredaksian suatu media massa atau memenuhi kebutuhan pembaca. [11]
Apabila diperhatikan, dalam Undang-Undang Dasar 1945 sudah jelas-jelas mengatakan pada pasal 28, yakni” Kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan undang-undang. Pada pasal 28 F UUD 1945 dikatakan, “Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia”.
Sebagaimana dinyatakan dalam UUD 1945 di atas, setiap warga negara memiliki hak untuk memperoleh informasi, untuk menyebarkan informasi dan semua itu harus ada aturannya, agar tidak sampai ada hak orang lain terganggu oleh orang-orang yang mempergunakan haknya tersebut.
Dalam hal ini, Undang-undang Hak Asasi Manusia(HAM) telah mengatur sedemikian rupa, sehingga tidak ada seorangpun yang bisa berbuat sewenang-wenang kepada orang lain.
Pada Bab II Asas-Asas Dasar, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Aasasi Manusia dikatakan, “ Negara Republik Indonesia mengakui dan menjunjung tinggi hak asasi manusia dan kebebasan dasar manusia sebagai hak yang secara kodrati melekat padanya dan tidak terpisahkan dari manusia, yang harus dilindungi, dihormati, dan ditegakkan demi peningkatan martabat kemanusiaan, kesejahteraan, kebahagiaan, dan kecerdasan serta keadilan.
Dalam hal ini terbukti bahwa hak asasi manusia itu dijamin sepenuhnya oleh negara, sehingga di sisi penyebaran informasi, baik melalui media massa atau pers , di satu sisi wartawan punya hak untuk memperoleh dan menyebarkan informasi, sebaliknya masyarakat memilik hak untuk tidak dirugikan oleh suatu informasi yang beredar di tengah-tengah masyarakat melalui media massa atau pers tersebut.
Selanjutnya Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 40 Tahun 199 tentang Pers, telah mengatur sedemikian rupa tentang kerja pers di Negara Republik Indonesia. Undang-Undang 40 Tahun 1999 ini merupakan acuan bagi pers dalam melakukan pekerjaannya di tengah-tengah masyarakat. Seperti dikemukakan pasal 2 pada Bab II Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999, “Kemerdekaan pers adalah salah satu wujud kedaulatan rakyat yang berasaskan prinsip-prinsip demokrasi, keadilan, dan supremasi hukum. Pada pasal 3 dikatakan, “ Pers nasional mempunyai fungsi sebagai media informasi, pendidikan, hiburan dan control sosial”. Pasal 5 ayat (1) mengatakan,” Pers nasional berkewajiban memberitakan peristiwa dan opini dengan menghormati norma-norma agama dan rasa kesusilaan masyarakat serta asas praduga tak bersalah”. Ayat (2), menyatakan”, Pers wajib melayani Hak Jawab”. Ayat (3), mengatakan” Pers wajib melayani Hak Koreksi”.
Dengan demikian, secara teoritis, keberadaan pers di Negara Republik Indonesia tidak bisa sewenang-wenang, tetapi harus tunduk dan patuh kepada ketentuan-ketentuan hukum yang ada. Pada intinya, pers harus mampu memberikan kecerdasaan kepada masyarakat, dan bukan sebaliknya membodohi masyarakat melalui penyajian berita-berita yang tidak memiliki fakta dan melalui berita-berita yang tidak mendidik.
Kerangka Konsepsional
Untuk memudahkan pembahasan, berikut ini diuraikan beberapa pengertian konsepsional dari istilah yang dimaksudkan dalam judul usulan penelitian ini, sebagai berikut :
- Peranan adalah langkah kebijakan dan kegiatan yang dilakukan oleh suatu organisasi/badan/orang berdasarkan kedudukannya.
- Pers adalah media persuratkabaran, seperti koran, majalah, tabloid, buletin dan sejenisnya, yang berfungsi untuk menyajikan informsi kepada pembaca.
- Pembangunan, adalah mendirikan sesuatu atau membina sesuatu untuk kemajuan ke arah yang lebih baik dari sebelumnya.
- Perspektif adalah penerapan dari suatu peraturan perundang-undangan di tengah-tengah masyarakat
- e. Undang-undang Negara Republik Indonesia Nomor 40 Tahun 1999, adalah Undang-undang yang mengatur tentang pers di Indonesia.
1.7 Metodologi Penelitian
a. Jenis Pendekatan
Penelitian ini merupakan penelitian hukum dengan dilakukannya dengan pendekatan yuridis normatif komparatif yang didukung oleh penelitian yuridis empiris. Penelitian berbentuk yuridis empiris ini dilakukan dengan cara menginventarisasi hukum positif, melakukan sinkronisasi perundang-undangan secara vertikal dan horizontal, penemuan asas-asas hukum yang terkait dengan pengaturan peran dan fungsi pers dalam pembangunan Kota Padang Panjang.
Sedangkan penelitian Yuridis Empiris, dilakukan untuk melihat bekerjanya hukum dalam masyarakat yang terkait dengan praktek pelaksanaan peran dan fungsi pers dalam pembangunan di Kota Padang Panjang.
Selanjutnya, studi perbandingan juga akan dilakukan dalam penelitian ini (comparatif study), yakni membandingkan ketentuan yang ada sebelumnya, yakni Undang-undang Nomor 21 Tahun 1982 dengan Undang-Undang Negara Republik Indonesia Nomor 40 Tahun 1999 Tentang Pers.
b. Sumber Data
Sumber data dalam penelitian ini, terdiri dari data sekunder dan data primer. Sebagai pendukung data skunder, adalah meliputi :
- Bahan hukum primer, yakni meliputi: Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor XVII/MPR/1998 tentang Hak Azasi Manusia, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Indonesia, Undang-Undang Negara Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 1966 Tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pers sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Negara Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 1967 dan diubah dengan Undang-undang Nomor 21 Tahun 1982, Undang-undang Negara Republik Indonesia Nomor 40 Tahun 1999 Tentang Pers.
- Bahan hukum sekunder, yang terdiri dari buku-buku, karya ilmiah, dan literatur mengenai hukum tata negara umumnya dan hukum tentang peran dan fungsi pers pada khususnya.
- Bahan Hukum Tersier, yakni yang meliputi kamus, ensiklopedi, katalog data primer sebagai pendukung data skunder, yang meliputi hasil wawancara dengan responden yang berkapasitas sebagai pakar dan praktisi di bidang pers, yang berkaitan dengan peranan pers dalam pembangunan umumnya dan peran pers dalam pembangunan di Kota Padang Panjang pada khususnya.
c. Teknik Pengumpulan Data
Data skunder, berupa bahan primer, bahan hukum skunder dan hukum tersier yang berkaitan dengan penelitian ini diperoleh melalui studi dokumentasi (kepustakaan). Sedangkan data primer yang merupakan data pendukung data skunder diperoleh dengan teknik wawancara yang mendalam (depth interview) dan terstruktrur kepada para responden yang merupakan para pakar dan praktisi hukum ketatanegaraan.
d. Analisa dan Penyajian Data
Data yang diperoleh, lalu dianalisis dengan mempergunakan penafsiran hukum dan disajikan dalam bentuk kualitatif.
e.Lokasi Penelitian
Lokasi penelitian adalah pada wilayah Kota Padang Panjang dan pada sejumlah jajaran pers atau yang terkait dengan pers di Provinsii Sumatera Barat.
BAB II
BAB II TINJAUAN TEORITIS DAN HISTORIS
PENYELENGGARAAN PERS INDONESIA
2.1. Tinjauan Teoritis Penyelenggaraan Pers Indonesia
Sesungguhnya penyelenggaraan pers Indonesia merupakan implelementasi dari bentuk penyelenggaraan demokrasi di Indonesia. Sangat erat hubungan penerapan demokrasi di Indonesia dengan penyelenggaraan pers Indonesia di negara ini.
Dapat dibuktikan, ketika Indonesia berada di era penjajahan, Orla, Orba dan reformasi, sungguh sangat terasa perbedaan maju mundurnya penyelenggaraan pers di Indonesia.
Satu hal yang penting dicatat dalam hal ini, liku perpajalanan perkembangan pers Indonesia, sama seperti negara-negara lain di dunia, sangat dipengaruhi oleh perkembangan politik di negara Indonesia.
Ketika perkembangan perpolitikan pada suatu rezim di Negara Republik Indonesia berjalan secara diktator, pers berjalan dalam kondisi terkekang atau nyaris tidak mampu mengenyam rasa kemerdekaan. Pemberitaan pers diawasi penguasa sesuai dengan kepentingan politik penguasa tersebut. Kalau ada pers yang berani membuat pemberitaan yang tidak sejalan dengan kepentingan politik penguasa rezim tersebut, resikonya sangat besar. Antara lain, bisa saja wartawannya ditahan atau malah bisa sampai kepada pencabutan SIUUP media bersangkutan. Namun ketika perkembangan perpolitikan pada suatu rezim berjalan secara demokratis, maka otomatis pers akan menghirup udara bebas dalam menjalankan profesinya.
Sebab, suasana otoriter suatu era kekuasaan pemerintahan dalam suatu negara akan berdampak kepada pengekangan perjalanan kehidupan pers, dan sebaliknya kalau suasana demokratis yang muncul dalam suatu era kekuasaan pemeriuntahan, akan berdampak kepada terciptanya kebebasan dalam suatu perjalanan dunia pers.
Suatu bukti, ketika Indonesia berada di era Orde Baru yang lebih akrab kepemimpinannya dengan nuansa diktator, pers di negeri ini sungguh berada dalam kekangan. Selama kurun waktu era kekuasaan era Orde Baru, tidak sedikit media yang terkena bredel atau pencabutan SIUUP gara-gara mencoba menulis dengan nada mengoreksi kepemimpinan pemerintahan waktu itu.
Namun ketika Indonesia berada di era reformasi mulai tahun 1998, kebebasan pers sungguh sangat terasa di negara Republik Indonesia. Wartawan dalam mencari dan menyiarkan informasi tidak lagi merasa takut terkena sensor sebelum berita naik cetak. Atau, tidak lagi merasa akan dicari atau ditangkap setelah berita diterbitkan.
Penyebab demikian dominannya pengaruh perkembangan perpolitikan dalam sebuah kekuasaan rezim pemerintahan terhadap pers, adalah karena penguasa merasa perlu mengendalikan pers, mengingat pemberitaan pers amat besar pengaruhnya terhadap pembentukan sebuah opini di tengah-tengah masyarakat.
Donal Shaw dan Max McComb yang terkenal dengan teorinya ‘”Agenda Setting”, yakni sebuah teori yang menggamnbarkan isi media berita memiliki pengaruh pada persepsi publik tentang isu-isu penting, menjelaskan bahwa apa yang menjadi pemberitaan sebagai sampul berita di media berita itu akan menjadi agenda publik (khalayak pembaca), dan cara perancangan atau reka bentuk pada sampul berita media tersebut telah menanamkan peranan penting pembentukan opini publik berkenaan dengan apa yang menjadi penting atau tidak penting untuk diberitakan.[12]
Teori yang mengemukakan bahwa pemberitaan media massa sangat berpengaruh terhadap pembentukan opini, telah membuat penguasa dalam suatu rezim pemerintahan suatu negara merasa perlu mengendalikan media massa.
Penguasa dalam rezim apapun selalu akan merasa berkepentingan dengan pemberitaan pers. Di satu sisi, pemberitaan pers bisa membuat citra pemerintahan terangkat dan sebaliknya di sisi lain pemberitaan pers pun dapat pula menghancurkan citra pemerintahan.
Karena itulah, pemerintahan di negara manapun di dunia ini, tidak terkecuali di Negara Republik Indonesia, tidak ada yang tidak merasa berkepentingan dengan pemberitaan pers.
Dengan demikian, dalam rezim apapun juga, pemberitaan pers selalu menjadi perhatian serius baginya. Artinya, pengendalian terhadap pemberitaan pers selalu menjadi titik fokus utama pemerintahan.
2.2.1. Etika Pers Yang Bebas dan
Bertanggungjawab.
Sesuai dengan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 Tentang Pers, pada hakekatnya pers Indonesia merupakan pers yang bebas dan bertanggungjawab. Maksudnya, pers Indonesia dalam melaksanakan profesinya memiliki kebebasan yang dijamin oleh undang-undang. Akan tetapi kebebasan tersebut bukan tanpa batas, tetapi dibatasi oleh tanggungjawab yang melekat pada etika kebebasan pers tersebut, yang disebut dengan etika pers. Etika pers inilah yang membuat setiap insan pers bertanggungjawab terhadap berbagai dampak atau akibat dari profesi jurnalistik yang dijalankannya.
Di antara etika pers yang membuat pers itu bebas dan bertanggungjawab adalah sebagai berikut :
- Hati nurani. Dengan mempergunakan hati nurani, insan pers dalam melaksanakan profesinya akan mampu memilah, mana yang baik dan mana yang buruk, mana yang pantas diberitakan mana yang tidak pantas. Hati nurani akan mampu mengukur batas-batas kewajaran sebuah informasi yang dikemukakan seuah media massa kepada publik.
- 2. Pancasila. Sebagai dasar negara yang digali dari bumi Indonesia sendiri, nilai-nilai yang ada dalam Pancasila merupakan etika yang mampu menjadikan pers sebagai pers yang bebas dan bertanggungjawab.
- 3. Undang-Undang Dasar 1945 Yang Diamendemen. UUD 1945 yang diamendemen, adalah merupakan etika yang harus menjadi etika bagi pers. Sebab pasal demi pasal dalam UUD 45 yang dimaendemen ini
adalah mengandung nilai-nilai moral yang harus dituruti oleh insan pers dalam menjalankan profesinya.
- Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 Tentang Pers. Undang-Undang ini adalah aturan yang menjadi ukuran etika bagi insan pers dalam menjalani profesinya. Dengan ini diharapkan wartawan Indonesia tidak saja sekadar menganut prinsip bebas tetapi sekaligus juga harus bertanggungjawab.
- Kode Etilk Jurnalistik. Kode etik jurnalistik adalah etika yang secara teknis yang harus dipatuhi insan pers dalam melaksanakan tugas profesinya sehari-hari. Pelanggaran seorang wartawan terhadap kode etik jurnalistik, sungguh sangat memalukan karena kode etik jurnalistik adalah etika wartawan sendiri, yang khusus untuk insan pers yang kegunaannya untuk wartawan dalam menjalankan profesinya.
- Kode Etik Wartawan Indonesia(KEWI). Kode Etik Wartawan Indonesia sungguh sebuah rambu-rambu etika wartawan yang harus menjadi pagar pembatas bagi wartawan dalam bertindak sepanjang kegiatannya dalam profesi kewartawanan.
- KUHP. Ketentuan-ketentuan yang ada dalam pasal-pasal KUHP yang berkaitan dengan pers, baik secara langsung maupun tidak langsung, akan mem buat wartawan Indonesia menjadi wartawan yang bebas dan bertanggungjawab. Si pelanggalarnya akan berhadapan dengan hukum, sebagai konsekwensi dari pelanggaran ter5hadap etika pers yang dilakukan seorang insan pers.
2.2.2. Asas-Asas Penyelenggaraan Pers
di Indonesia
Kini sampailah pembahasan kepada asas-asas penyelenggaraan pers di Indonesia. Sebagaimana pada negara-negara lain di dunia, penyelenggaraan pers di Negara Republik Indonesia tidak terlepas dari berbagai ketentuan yang diatur menurut peraturan perundang-undangan yang ada dan berlaku di negara ini.
Namun satu hal yang menjadi garisan dalam penyelenggaraan pers bagi suatu negara dalam upaya menyahuti kepentingan negara tersebut, adalah bagaimana agar asas-asas penyelenggaraan pers di negara tersebut mampu menyahuti kepentingan masyarakat.
Artinya, pemberitaan pers harus mampu menjadi pendorong bagi masyarakat untuk semakin menyadari bahwa peranan mereka dalam membangun bangsanya sangat penting.
Pers tidak hanya hadir semata-mata untuk menikmati kebebasan tanpa mempedulikan kepentingan masyarakat dalam arti luas. Pers harus mempergunakan kebebasannya untuk kepentingan masyarakat sebesar-besarnya.
Khusus untuk negara berkembang seperti Negara Republik Indonesia, pers merupakan hal yang amat penting artinya dalam menumbuhkembangkan gelora semangat [13]masyarakat dalam me[14]mbangun bangsa dan negaranya.
Karena melihat demikian besarnya peranan pers di tengah-tengah masyarakat, Ishadi Sutopo KS mengemukakan, bahwa para cendikiawan di bidang komunikasi kata Ishadi Sutopo KS yakin tentang pentingnya arti media massa bagi modernisasi negara-negara sedang berkembang. Mereka mempercayakan pelbagai tugas pada media dan mendasarkan kesimpulan mereka untuk sebagian besarnya atas studi-studi lapangan perihal tingkah laku dan dampak media. 7
Berkaitan dengan ini, masih melihat kepada kepentingan media massa oleh negara berkembang seperti Negara Republik Indonesia, Lucian W. Pye mengemukakan dalam salah satu tulisannya dengan lebih bersifat filosofis, bahwa kecuali kalau masyarakat luas dapat diperkenalkan pada cara-cara berfikir yang baru dan dituntun untuk menerima sikap-sikap yang baru, maka hanya ada sedikit harapan untuk menciptakan kemajuan yang mantap ke arah pembangunan ekonomi, modernisasi masyarakat dan kedewasaan politik.8
Melalui pendapat-pendapat ini, terlihat bahwa penyelenggaraan pers di Indonesia sebagai negara yang masih tergolong kepada negara berkembang, memerlukan koridor-koridor atau ketentuan-ketentuan yang mampu membangkitkan gelora semangat masyarakat untuk turut serta berpartisipasi dalam pembangunan bangsa dan negara.
Namun ketentuan-ketentuan tersebut bukan dalam arti mengekang kebebasan pers. Malahan sebaliknya, ketentuan-ketentuan itulah yang menjadikan pers Indonesia pers yang bebas dan bertanggungjawab.
Sebab dengan adanya ketentuan-ketentuan, sesuai dengan aturan hukum yang ada, kebebasan pers menjadi semakin terjamin, tidak ada lagi yang bisa mengekang. Sebab kalau ada yang mengekang, dia bisa dikategorikan melakukan hal melawan hukum.
Secara teoiritis dapat dikatakan, bahwa pers yang bebas itu bukanlah pers yang tidak berjalan dengan tidak ada aturan. Tetapi sebaliknya pers yang bebas itu adalah pers yang berjalan dengan aturan hukum yang jelas, yang tidak bisa aturan itu diubah sembarangan saja oleh pihak manapun juga, baik oleh pihak penguasa ataupun oleh pihak pers sendiri.
Pers yang berjalan dengan aturan yang jelas, haruslah memiliki asas-asas yang jelas pula, yang bisa dituruti oleh penyelengara pers, sehingga dia tidak berat ke kiri atau ke kanan.
Sebab apabila pers tidak memiliki asas-asas yang jelas, atau apabila penyelenggara pers tidak mau menuruti asas-asasnya, dikhawatirkan pers akan mudah dimanfaatkan berbagai pihak untuk kepentingannya. Misalnya, pers yang tidak memiliki asas atau pers yang tidak memiliki aturan dalam menjalani profesinya, dia akan mudah dimanfaatlkan penguasa untuk kepentingan politiknya atau bisa juga dimanfaatkan orang-orang yang tidak ingin negara ini berjalan dengan baik.
Asas penyelenggaraan pers di Indonesia dapat dilihat dalam berbagai peraturan perundang-undangan yang dimiliki Negara Republik Indonesia karena dasar ataupun tujuan penyelenggaraan pers di Indonesia ada dalam peraturan perundang-undangan tersebut. Antara lain dapat dilihat di sini, sebagai berikut :
1) Praduga tak bersalah. Penyelenggaraan pers di Indonesia berasaskan kepada praduga tak bersalah. Dengan asas praduga tak bersalah, pers dalam memberitakan tentang keterliatan seseorang atau sekelompok orang dan sejenisnya dalam suatu tindakan kejahatan, tidak bisa langsung menvonis. Yang berhak menvonis seseorang, sekelompok orang atau sejenisnya bersalah adalah hakim di pengadilan. Selagi dalam proses hukum, pers hanya bisa memberitakan bahwa yang bersangkutan diduga bersalah.
Apabila sempat pers menvonis seseorang sebagai pelaku pencurian karena mungkin disebabkan dia melihat sendiri atau karena disampaikan oleh sumber yang nyata-nyata telah melihat yang bersangkutan melakukan pencurian melalui pemberitaan pers, kalau nanti hakim memutuskan lain, seperti membebaskan yang bersangkutan karena tidak terbukti bersalah, atau karena sebenarnya bukan dia karena berbagai alasan lainnya yang diterima hakim, dapat dibayangkan betapa pers telah membuat nama baik seseorang tercemar. Jadi, pers tidak berhak menghakimi seseorang, apakah dia bersalah atau tidak. Karena itu, apapun alasannya, pers harus memegang teguh prinsip asas praduga tak bersalah. Pers hanya dalam kapasitas memberitakan hasil putusan dan bukan punya kewenangan membuat putusan sekaligus memberitakan.
2) Kecerdasan. Penyelenggaraan pers tidak bisa dilepeskan dari kecerdasan. Pers sebagai pihak yang punya tugas menyampaikan informasi kepada masyarakat, sudah barang tentu pers memegang peranan penting dalam hal mencerdaskan masyarakat.
Sebab dengan banyaknya masyarakat mengetahui sesuatu melalui media massa, baik cetak maupun elektronik akibat dsari penyelenggaraan pers, maka masyarakat akan cerdas akibat pers.
Dengan demikian, pers punya peranan penting dalam mencerdaskan kehidupan bangsa. Masyarakat pun punya hak untuk mendapatkan pencerdasan ini. Karena itu, asas pencerdasan merupakan salah satu asas dariu penyelenggaraan pers.
Hal ini dapat dilihat pada Undang-undang Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 1999, Tentang Hak Asasi Manusia, pada Bab II Asas-Asas Dasar, Pasal 2, menyatakan: Negara Republik Indonesia mengakui dan menjunjung tinggi hak asasi manusia dan kebebasan dasar manusia sebagai hak yang secara kodrati melekat pada dan tidak terpisahkan dari manusia, yang harus dilindungi, dihormati, dan ditegakkan demi peningkatan martabat kemanusiaan, kesejahteraan, kebahagiaan, dan kecerdasan serta keadilan.
Selanjutnya dalam undang-undang ini, pada Bab III, Hak Asasi Manusia Dan Kebebasan Dasar Manusia, Bagian Kelima, Hak Kebebasan Pribadi, pasal 23, ayat(2) dikatakan dengan tegas: Setiap orang bebas mempunyai, mengeluarkan dan menyebarluaskan pendapat sesuai hati nuraninya, secara lisan dan atau tulisan melalui media cetak maupun elektronik dengan memperhatikan nilai-nilai agama, kesusilaan, ketertiban, kepentingan umum, dan keutuhan bangsa.
3) Keterbukaan. Keterbukaan merupakan asas penyelenggaraan pers di Indonesia. Dengan keterbukaan ini, masyarakat memiliki hak untuk memperoleh informasi publik.
Dan dengan keterbukaan ini pula, pers memiliki tujuan yang jelas dalam menjalankan profesinya, yakni untuk memberitahukan informasi kepada publik atau masyarakat secara terbuka.
Hal ini bisa dilihat dalam Undang-undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2008, Bab III tentang Hak Dan Kewajiban Pemohon Dan Pengguna Informasi Publik Serta Hak Dan Kewajiban Badan Publik, Bagian Ke4satu tentang Hak Pemohon Informasi Publik, pasal 4, yang menyatakan: ayat (1) Setiap orang berhak memperoleh informasi publik sesuai dengan ketentuan Undang-Undang ini. Ayat (2) Setiap Orang berhak:
- melihat dan mengetahui Informasi Publik.
- Menghadiri pertemuan publik yang terbukauntuk umum untuk memperoleh Informasi Publik.
- Mendapatkan salinan Informasi Publik melalui permohonan sesuai dengan Undang-Undang ini; dan/atau
- Menyebarluaskan Informasi Publik sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
2.2. Tinjauan Historis Penyelenggaraan Pers
di Indonesia
2.3.1. Perkembangan Penyelenggaraan
Pers di Indonesia Pada era
Sebelum Merdeka
2.3.1.1. Pers di Era Penjajahan
Belanda
2.3.1.2. Pers di Era Penjajahan
Jepang
2.3.2. Penyelenggaraan Pers di Indonesia
Pada era Kemerdekaan
2.3.2.1. Pers di era Orde Lama
2.3.2.2. Pers di era Orde Baru
2.3.2.3. Pers di era Reformasi
BAB III. PENGATURAN PENYELENGGARAAN
PERS DALAM MELAKSANAKAN
FUNGSINYA DI NEGARA REPUBLIK
INDONESIA
3.2.1. Pers Indonesia Dalam Melaksanakan Fungsainya Sebagai Sosial Kontrol
3.2.2. Pers Indonesia Dalam Melaksanakan Fungsinya Sebagai Media Pendidikan
3.2.3. Pers Indonesia Dalam Melaksanakan Fungsinya Sebagai Media Hiburan
3.2.4. Pers Indonesia Dalam Melaksanaan Fungsinya Sebagai Pengemban prinsip Idealis
3.2.5. Pers Indonesia Dalam Melaksanakan Fungsinya Dalam Bentuk Bisnis
BAB IV TINJAUAN TENTANG PERANAN PERS
DALAM PEMBANGUNAN DI INDONESIA
INDONESIA.
4.1. Peranan Pers Dalam Pembangunan
Nasional
4.2. Peranan Pers Dalam Pembangunan di
Daerah Otonom(Kabupaten/Kota)
4.2.1. Peranan Pers Dalam Pembangunan
di Daerah Kabupaten/Kota Pada Era
Orde Lama dan Orde Baru
4.2.2. Peranan Pers Dalam Pembangunan
di Daerah Kabupaten/Kota Pada era
Reformasi
BAB V PERANAN PERS DALAM
PEMBANGUNAN KOTA PADANG
PANJANG DILIHAT DARI
PERSPEKTIF UNDANG-UNDANG
NOMOR 40 TAHUN 1999
5.1. Penyelenggaraan Fungsi Pers Dalam
Pembangunan Kota Padang Panjang
Dilihat Dari Perspektif Undang-Undang
Nomor 40 Tahun 1999
5.1.2. Dilema Penerapan Undang-Undang
Nomor 40 Tahun 1999
5.1.3. Pengaruh Kebebasan Pers Dalam
Gerak Pembangunan Kota Padang
Panjang
5.1.4. Pengaruh Otonomi Daerah dan
Kebebasan Pers Dalam Pembangunan
Kota Padang Panjang.
5.1.5. Kesiapan Masyarakat Padang Panjang
Menyikapi Pemberitaan Pers
Dikaitkan Dengan Lahirnya Undang-
Undang Nomor 40 Tahun 1999
5.1.6. Kesiapan Wartawan Dalam
Menyikapi Penerapan Undang-
Undang Nomor 40 Tahun 1999
Dikaitkan Dengan Gerak Langkah
Pembangunan Kota Padang Panjang
5.2. Beberapa Dilema Yang Timbul di Tengah
Masyarakat Kota Padang Panjang Akibat
Kebebasan Pers dan Otonomi Daerah
5.2.1. Pengaruh Tingkat Kecerdasan
Masyarakat Dalam Menyikapi
Pemberitaan Pers Dilihat Dari Perspektif
Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999
5.2.2. Pengaruh Tingkat Kemampuan
Wartawan Dalam Menjalankan Fungsi
Pers-nya Dilihat Dari Perspektif
Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 5.2.3. Pengaruh Kesiapan Birokrasi Dalam
Menyikapi Pemberitaan Pers Dilihat
Dari Perspektif Undang-Undang Nomor
40 Tahun 1999
5.2.4. Nilai Positif dan Negatif Terhadap
Pembangunan Kota Padang Panjang
Dengan Lahirnya Undang-Undang
Nomor 40 Tahun 1999
BAB VI PENUTUP
6.1. Kesimpulan
6.2. Saran-Saran
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Gafur, Hari–hari Terakhir Seorang Presiden, Pustaka Sinar Harapan,
Jakarta, 2000
Abdul Rahman Wahid, Melawan Melalui Lelucon, Tempo, Jakarta, 2000
Ahmad Watik Praktiknya dkk, Pandangan dan Langkah Reformasi B.J.
Habibie, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta, 1999
Ashadi Siregar dkk, Bagaimana Meliput dan Menulis Berita Untuk Media
Massa, Penerbit Kanisius, Yogyakarta, 1998
Don Michael Flournoy(Ed.), Analisa Isi Suratkabar-Suratkabar Indonesia, Gadjah Mada University Press, 1989
Fachry Ali, Esai Politik Tentang Habibie Iptek dan Transpormasi Kekuasaan,
Balai Pustaka, Jakarta, 1999
F. Rachmadi, Perbandingan Sistem Pers, PT. Gramedia, Jakarta, 1990
Hasan Shadily dkk, Ensiklopedi Indonesia, Jilid 3, PT. Ikhtiar Baru-Van Hoeve
dan Elsevier Publishing Projects, Jakarta, 1989
Hasan Shadily dkk, Ensiklopedi Indonesia, Jilid 7, PT. Ikhtiar Baru-Van hoeve
dan Elsevier Publishing Project, Jakarta, 1987
Indrawan WS, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia, Lintas Media, Jombang
Ismail Suny, Mencari Keadilan, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1981
Ismail Suny, Pergeseran Kekuasaan Eksekutif Suatu Penyelidikan Hukum
Tata Negara, Aksara Baru, Jakarta, 1986
Larrry King, Seni Berbicara Kepada Siapa Saja, Kapan Saja, Di mana Saja,
PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2006
Legiman Misdiyono, Misteri Operasi Intelijen,Indomedia Publishing,
Jakarta, 2007
Manfred Oepen, Media Rakyat Komunikasi Pengembangan Masyarakat,
P3M, Jakarta, 1988
Moh. Mahfud MD, Demokrasi dan Konstitusi di Indonesia. Studi Tentang
Interaksi Politik dan Kehidupan Ketetanegaraan, Rineka Cipta,
Jakarta, 2003
Mohammad Hatta, Alam Pikiran Yunani, Tintamas, Jakarta, 1986
Nurhuda Adinur dkk, Perhumas Dalam Warna Menyusun Strategi,
Membangun Korporasi & Menjaga Reputasi, BPP perhumas Bidang
Komunikasi, Jakarta, 2004
Prasetyohadi, Keadilan Dalam Masa Transisi, Komisi Nasional Hak Asasi
Manusia, Jakarta, 2001
S.L. Roy, Diplomasi, Rajawali Pers, Jakarta, 1991
Sudirman Tebba, Hukum Media Massa Nasional, Pustaka irVan, Ciputat,
2006
Wina Armada, S.A, Wajah Hukum Pidana Pers, Pustaka Kartini, Jakarta,
1989
Vera Jasini Putri, Kamus Hukum Otonomi Daerah, Friedrich-Naumann-
Stiflung(FNSt), Jakarta, 2003
Yurnaldi, Menjadi Wartawan Hebat, Citra Budaya Indonesia, Padang,
2004
Peraturan Perundang-Undangan
Undang-Undang Dasar 1945 dan Perubahannya
Ketetapan MPR Nomor XVII/MPR/1998 Tentang Hak Azasi Manusia
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1966 Tentang Ketentuan-Ketentuan
Pokok Pers
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1967 Tentang Ketentuan-Ketentuan
Pokok Pers
Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1982 Tentang Ketentuan-ketentuan
Pokok Pers
Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 Tentang Pers
Unang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 Tentang Keterbukaan Informasi
Publik
[7] Prof. Dr. Moh. Mahfud MD, S.H. S.U.. Demokrasi dan Konstitusi di Indonesia. Studi Tentang Interaksi Politik dan Kehidupan Ketatanegaraan”, Rineka Cipta, 2001. hlm. 19
[8] Abdul Gafur, Hari-hari Terakhir Seorang Presiden, Pustaka Sinar Harapan, 2000, hlm 6
[9] Wina Armada, S.A, SH, Pendahuluan oleh Prof. Oemar Seni Aji, SH, Wajah Hukum Pidana Pers, Pustaka Kartini, 1989, hlm 12.
[10] Kata Pengantar Undang-undang Republik Indonesia Nomor 40 Tahun 1999 Tentang Pers, Departemen Penerangan RI, 1999
[11] Ashadi Siregar dkk, Bagaimana Meliput, penerbit Kanisius, 1998, hlm 19
[12] Nurhuda Adinur DKK, Perhumas Dalam Warna, BPP Perhumas Bidang Komunikasi, Jakarta 2004, hlm. 127.
7. Don Michael Flournoy(Ed.), Analisa Isi Surat Kabar – Surat Kabar Indonesia, Gadjah Mada University Press, 1989, hlm.65.
8 Idem.
1.1 Judul : Peranan Pers dalam Pembangunan Kota Padang Panjang Dilihat Dari
Perspektif Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999.
1.2 Latar Belakang
Berakhirnya era Orde Baru yang diktator tahun 1998, yang digantikan oleh era reformasi yang ditandai dengan demokrasi, membuat fenomena dari dunia pers di Negara Republik Indonesia bergeser dari yang sebelumnya terkekang kepada dunia pers yang bebas. Pergeseran perkembangan dunia pers ini ditandai dengan lahirnya Undang-undang Nomor 40 Tahun 1999 Tentang Pers, menggantikan Undang-undang Nomor 21 Tahun 1982 Tentang Perubahan atas Undang-undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 1966 Tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pers.
Seperti dijelaskan dalam Kamus Lengkap Bahasa Indonesia, Karangan Indrawan WS, Penerbit Lintas Media Jombang, diktator adalah berarti, “Kekuasaan yang tak terbatas”. Dengan ini, ada beberapa indikator yang dapat membuktikan bahwa Orde Baru adalah orde diktator, sebagai berikut : Pertama, penguasa bebas melakukan apa saja yang diinginkannya, tanpa perlu memperhatikan batasan-batasan kewenangannya. Kedua, penguasa bisa sewenang-wenang bertindak, tanpa mempedulikan aturan yang ada, apabila ada hal-hal yang menurutnya bisa mengganggu kelanggengan kekuasaannya. Ketiga, dengan dalih stabilitas keamanan, penguasa di era ini bisa mencabut Surat Izin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP) suatu media massa, apabila dia menilai akan pemberitaannya menjurus pada kritikan terhadap penguasa, dan beberapa hal lainnya. Banyak media yang mengalami pencabutan SIUPP di era ini. Antara lain Majalah Tempo, Tabloid Detik dan beberapa media lain.
Kalau diperbandingkan antara diktator dengan demokrasi, sungguh jelas sekali perbedaannya. Jika Indrawan WS dalam Kamus Lengkap Bahasa Indonesia yang diterbitkan Lintas Media Jombang memberikan pengertian dikator adalah kekuasaan yang tak terbatas, maka dalam kamus yang sama Indrawan WS menjelaskan bahwa demokrasi adalah berarti,” Pemerintahan rakyat oleh rakyat dan untuk rakyat”. Kalau pada era kekuasaan yang dikendalikan oleh pemerintahan yang dikator penguasa bisa berbuat bebas sesuai dengan keinginannya dan hanya berpegang pada prinsip bagaimana agar kekuasaan pemerintahannya selalu langgeng dan tetap bertahan, pada kekuasaan yang dikendalikan pemerintahan demokrasi, penguasa dalam menjalankan pemerintahan selalu berpegang teguh kepada prinsip untuk kepentingan rakyat dan tunduk serta patuh kepada ketentuan yang berpihak kepada rakyat.
Untuk lebih memperjelas tentang perbandingan antara demopkrasi dan diktator di sini, dapat dikemukakan di sini pendapat Prof. DR. Moh. Mahfud MD, S.H., S.U., dalam bukunya berjudul,” Demokrasi dan Konstitusi di Indonesia. Studi Tentang Interaksi Politik dan Kehidupan Ketatanegaraan” yang diterbitkan penerbit Rineka Cipta pada halaman 19, yang menyatakan bahwa demokrasi mempunyai arti penting bagi masyarakat yang menggunakannya sebab dengan demokrasi hak masyarakat untuk menentukan sendiri jalannya organisasi negara dijamin. Oleh sebab itu, menurutnya hampir semua pengertian yang diberikan untuk istilah demokrasi ini selalu memberikan posisi penting bagi rakyat kendati secara operasional implikasinya di berbagai negara tidak selalu sama. Berpedoman kepada pendapat Prof. DR. Moh. Mahfud MD, S.H., S.U. ini, maka dapat dikatakan bahwa otoriter adalah kebalikan dari demokrasi[7].
Undang-undang Nomor 40 Tahun 1999 telah membuat pers Indonesia berada pada tataran pers yang memiliki kemerdekaan sebagaimana yang telah diimpikan selama berpuluh-puluh tahun oleh rakyat Indonesia. Pers Indonesia yang selama berpuluh-puluh tahun terkekang, yang antara lain karena adanya keharusan memiliki SIUPP, yang sewaktu-waktu bisa saja dicabut oleh penguasa apabila dinilai dapat mengganggu kelanggengan kekuasaannya, dengan dalih mengganggu ketertiban umum, dengan lahirnya Undang-undang Nomor 40 Tahun 1999, SIUPP tidak berlaku lagi untuk penerbitan sebuah media massa.
Artinya, penguasa tidak lagi bisa membredel pers dengan dalih apapun juga. Pers sudah bisa menghirup udara kemerdekaan, sesuai dengan prinsip-prinsip kehadiran sebuah pers di Negara demokrasi. Di samping itu, dengan lahirnya Undang-undang Nomor 40 Tahun 1999, wartawan telah bisa bebas memilih organisasi profesi pers, sehingga tidak lagi satu-satunya Persatuan Wartawan Indonesia(PWI) organisasi wartawan.
Apabila ditelusuri kembali ke belakang, kebebasan pers yang lahir melalui Undang-undang Nomor 40 Tahun 1999 ini, adalah merupakan wujud nyata dari keinginan pasal 28, ayat 1 Undang-Undang Dasar 1945, yang berbunyi, “ Kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan Undang-undang”.
Undang-Undang Dasar 1945, khususnya pasal 28, telah dengan tegas menyatakan bahwa kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dan lisan dan tulisan dijamin oleh Negara. Kalau masih ada kekangan dalam menyuarakan hati nurani rakyat melalui pers, berarti kemerdekaan mengeluarkan pikiran dengan tulisan berarti belum lagi dapat diwujudkan.
Kalau belum dapat diwujudkan, berarti Bangsa Indonesia belum lagi memakai Undang-Undang Dasar 1945 secara murni dan konsekwen, terutama dari sisi kemerdekaan menikmati kebebasan pers.
Kemerdekaan menikmati kebebasan pers ini sungguh sangat penting artinya dalam kawasan yang lebih luas daripada sekadar memenuhi keinginan rakyat Indonesia semata, tetapi sekaligus juga telah menjadi kebutuhan bagi masyarakat dunia. Karena itu, kalau Negara Indonesia tidak memberikan kebebasan pers ini kepada rakyatnya, Indonesia akan tersisih dari pergaulan dunia. Karena itu, lahirnya Undang-undang Nomor 40 Tahun 1999, sekaligus telah dapat menyahuti keinginan masyarakat dunia.
Pers yang memiliki kemerdekaan untuk mencari dan menyampaikan informasi juga sangat penting untuk mewujudkan Hak Asasi Manusia yang dijamin dengan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor XVII/MPR/1998 tentang Hak Asasi Manusia, yang antara lain menyatakan bahwa setiap orang berhak berkomunikasi dan memperoleh informasi sejalan dengan Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hak Asasi Manusia Pasal 19 yang berbunyi:” Setiap orang berhak atas kebebasan mempunyai dan mengeluarkan pendapat; dalam hal ini termasuk kebebasan memiliki pendapat tanpa gangguan, dan untuk mencari, menerima, dan menyampaikan informasi dan buah pikiran melalui media apa saja dan dengan tidak memandang batas-batas wilayah”.
Dalam konteks ini, maka dapat dilihat bahwa kebebasan pers sungguh sangat penting artinya bagi seluruh warga masyarakat, tanpa ada kecualianya, terutama dalam upaya meningkatkan pembangunan di segala bidang. Sebab, wujud dari pencapaian pembangunan dalam sebuah bangsa adalah pencerdasan bangsa itu sendiri. Sebuah bangsa akan bisa cerdas apabila rakyatnya memilki ilmu pengetahuan. Ilmu pengetahuan akan bisa diperoleh seluruh rakyat dalam sebuah bangsa apabila bangsa tersebut memberikan kebebasan kepada rakyatnya dalam memperoleh informasi. Karena informasi yang paling banyak itu bisa diperoleh melalui pers, dengan alas an pers memilik profesi mencari, mengumpulkan dan menyebarkan informasi, maka kebebasan pers dalam sebuah bangsa mutlak harus dapat diciptakan.
Bilamana dalam suatu bangsa atau dalam suatu kelompok masyarakat sekecil apapun masih ada keterkekangan informasi atau tidak tercipta kebebasan pers, akan sangat sulit mencapai target pembangunan dalam bangsa dan kelompok masyarakat tersebut.
Lebih tragisnya lagi, kalau saja masih ada keterkekangan pers dalam suatu bangsa atau kelompok masyarkat sekecil apapun juga, berarti pada bangsa dan kelompok masyarakat tersebut telah terjadi penghilangan terhadap hak asasi manusia.
Selama kebebasan pers terbelenggu di Negara Kesatuan Republik Indonesia, baik di era Orde Lama maupun di era Orde Baru, selama itu pulalah hak asasi manusia turut terbelenggu di negeri ini.
Namun di sisi lain, tidak pula dapat ditutup mata, bahwa semenjak lahirnya Undang-undang Nomor 40 Tahun 1999, kebebasan pers yang terkesan tidak lagi ada batasnya, telah membuat sebagian orang memanfaatkannya untuk hal-hal yang merugikan pihak lain.
Dengan kebebasan pers yang sama sekali tidak lagi ada aturan yang mengontrolnya, masyarakat menjadi resah karena pemberitaan pers. Ini disebabkan penerbitan pers dan perekrutan wartawan tak lagi ada seleksinya.
Orang yang sama sekali tidak punya latar belakang pers, dengan lahirnya Undang-undang Nomor 40 Tahun 1999 boleh mendirikan media. Orang yang sama sekali tidak memiliki latar belakang pers, tanpa ada aturan yang mengatur perekrutannya, dia boleh saja memiliki kartu pers. Dia boleh saja membanggakan diri bahwa dia adalah seorang wartawan.
Fenomena ini membuat pemberitaan pers menjadi sangat sulit membedakan mana yang berita benar-benar objektif dan mana pula yang berita hanya sekadar informasi sekadar untuk melepaskan sakit hati, atau hanya sekadar untuk menjelek-jelekkan orang lain.
Undang-undang Nomor 40 Tahun 1999 seakan-akan telah menjadi alat untuk memanfaatkan kesempatan menerbitkan pers dan menjadi wartawan bagi sebahagian orang, yang tanpa mempedulikan ketentuan-ketentuan hukum lainnya.
Misalnya, poin 4 Kode Etik Wartawan Indonesia mengatakan, ”Wartawan Indonesia tidak menyiarkan informasi yang bersifat dusta, fitnah, sadis dan cabul, serta tidak menyebutkan identitas korban kejahatan susila.”
Namun demikian, dengan lahirnya Undang-undang Nomor 40 Tahun 1999, kebebasan pers telah dapat diwujudkan di Negara kesatuan Republik Indonesia secara menyeluruh, mulai dari tingkat pusat, provinsi, kabupaten/kota sampai ke tingkat kelompok masyarakat paling kecil.
Khusus di kabupaten/kota, sebagai daerah yang memiliki hak otonomi daerah, kebebasan pers yang ada saat ini benar-benar dapat dirasakan manfaatnya, terutama dalam mewujudkan pembangunan kabupaten/kota bersangkutan.
Lebih khusus lagi, untuk Kota Padang Panjang, kebebasan pers sungguh sangat terasa dampaknya bagi pembangunan di kota ini, terutama apabila dikaitkan dengan keberadaan kota ini sebagai kota pendidikan, di mana tingkat kecerdasan masyarakatnya sudah tergolong tinggi. Di samping itu, sekaligus sangat terasa pula dampaknya kelahiran Undang-undang Nomor 40 Tahun 1999 bagi Kota Padang Panjang, apabila dikaitkan dengan keberadaan kota tersebut yang sangat egaliter karena kota ini terkenal sebagai Kota Serambi Mekah yang merupakan gudangnya ulama dan tempat ulama-ulama besar tingkat nasional dan internasional pernah berkiprah dan menuntut ilmu.
Dalam sebuah kota yang merupakan kota pendidikan, terutama pendidikan agama dan gudangnya ulama-ulama besar seperti Kota Padang Panjang, kebebasan pers sungguh sangat terasa dampaknya.
Bagi masyarakat Kota Padang Panjang, kebebasan mendapatkan informasi sama besar artinya dengan kebebasan berdemokrasi, karena sehari-hari masyarakatnya lebih banyak berkiprah sebagai ulama, pendidik, mahasiswa, mahasiswi, santri, pelajar dan politisi.
Berdasarkan latar belakang di atas, maka disusunlah proposal penelitian ini dengan judul, ”Peranan Pers Dalam Pembangunan Kota Padang Panjang Dilihat Dari Perspektif Undang-undang Nomor 40 Tahun 1999”.
1.3 Identifikasi Masalah
Penelitian mengenai Peranan pers dalam pembangunan Kota Padang Panjang dilihat dari sisi perspektif Undang-undang Nomor 40 Tahun 1999 ini akan menjawab pertaanyaan-pertanyaan, sebagai berikut :
- Bagaimana pengaturan pers dalam menempatkan perannya terhadap pembangunan Kota Padang panjang menurut Undang-undang Nomor 40 Tahun 1999 ?
- Bagaimana peranan pers dalam pelaksanaan pembangunan Kota Padang Panjang di era kebebasan pers sekarang ?
- Apa hambatan dan kendala yang ditemui dan apa pula upaya yang ditempuh dalam mengatasi hal tersebut ?
1.4 Tujuan Penelitian
Penelitian tentang peran pers dalam pembangunan Kota Padang Panjang dilihat dari sisi perspektif Undang-undang Nomor 40 Tahun 1999 ini mempunyai tujuan, sebagai berikut :
- Untuk mengetahui sejauh mana peranan pers dalam pembangunan Kota Padang Panjang dilihat dari sisi perspektif Undang-undang Nomor 40 Tahun 1999.
- Untuk mengetahui dampak peran pers dalam era kebebasan pers sekarang ini dalam pembangunan Kota Padang Panjang.
- Untuk mengetahui hambatan dan kendala yang ditemui dan upaya yang dilakukan untuk mengatasi hal tersebut.
1.5 Kegunaan Penelitian
Sebagaimana penelitian-penelitian yang dilakukan pada umumnya, penelitian yang dilakukan ini mempunyai dua kegunaan, sebagai berikut :
- Kegunaan secara teoritis. Diharapkan penelitian ini akan dapat memberikan sumbangan pemikiran terhadap pengembangan ilmu pengetahuan secara hukum tentang pers, khususnya tentang peranan pers terhadap pembangunan dilihat dari sisi perspektif Undang-undang nomor 40 Tahun 1999 di Kota Padang Panjang.
- Kegunaan Secara Praktis. Hasil penelitian ini diharapkan akan menjadi sumbangan penulis bagi pelaksanaan Undang-undang Nomor 40 Tahun 1999 dan kaitannya dengan pembangunan di Kota Padang Panjang.
1.6 Kerangka Teoritis dan Konseptual
Kerangka Teoritis
Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), didirikan berdasarkan atas hukum. Pancasila sebagai dasar Negara dan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 adalah landasan konstitusional negara.
Dengan demikian, berarti Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah negara yang menempatkan hukum pada posisi yang sangat penting. Pada intinya, pemerintahan negara ini dijalankan berdasarkan atas hukum.
Pada setiap hukum dikesampingkan, pada saat itu pulalah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) ini akan goncang, seperti biduk yang oleng digoncang ombak di tengah lautan luas, yang ditempati 200 juta lebih jiwa manusia.
Pengalaman telah membuktikan, beberapa kali pemerintahan Negara Indonesia tidak dijalankan berdasarkan atas hukum, baik di era Orde Lama maupun di era Orde Baru, semuanya berakhir dengan goncangan yang sangat memilukan. Era Orde Lama berakhir dengan tragis. Ini disebabkan hukum tidak lagi menjadi acuan perjalanan bangsa. Contohnya, Presiden diputuskan seumur hidup, yang benar-benar menyalahi Undang-Undang Dasar 1945. Pancasila diperas menjadi Trisila dan Komunis yang benar-benar bertentangan dengan Pancasila dibiarkan tumbuh dan berkembang.
Era Orde Baru pun berakhir dengan tragis. Pemimpin kuat di era Orde Baru, Soeharto, berhenti dari jabatannya setelah didesak gelombang unjuk rasa selama berhari-hari. Ini adalah lagi-lagi disebabkan karena Pemerintahan Negara tidak lagi dijalankan berdasarkan atas hukum. Pemilihan Umum yang dilaksanakan di era Orde Baru, tidak lagi berjalan jujur dan adil. Peradilan dijadikan barang dagangan. Korupsi merajalela. Pada pokoknya Korupsi Kolusi dan Nepotisme (KKN) menjadi pemandangan biasa di tengah-tengah masyarakat.
Gerakan yang muncul kemudian dan menjadi arus utama gerakan rakyat adalah gerakan yang menyerukan reformasi. Laksana genderang yang ditabuh bertalu-talu, suara anti korupsi, kolusi dan nepotisme menggema di mana-mana. Tiga kata yang disulam menjadi KKN itu dialamatkan kepada Presiden Soeharto. Penilaian rakyat terhadap Pak Harto sebagai pemimpin tidak berhasil memberantas korupsi bahkan sebaliknya membiarkan penyakit ini merajela di lingkungan pemerintahan pusat dan daerah, oknum pejabat tertinggi sampai kepala desa di level paling bawah, termasuk keluarga dan kroninya.[8]
Dengan ini telah terbukti, bahwa setiap era kekuasaan pemerintahan negara ini dijalankan keluar dari koridor hukum, akan berakhir dengan tragis dan sekaligus akan berakhir dengan kesengsaraan rakyat. Karena itu, apabila dikaitkan dengan keberadaan pers di Indonesia di era reformasi sekarang, maka kebebasan pers yang dicapai saat ini, haruslah kebebasan pers yang berada dalam koridor hukum. Bukan kebebasan pers yang tanpa ada aturan. Apabila kebebasan pers tidak lagi berada dalam koridor hukum yang berlaku, liar tanpa ada kendali sama sekali, maka kebebasan pers ini akan berubah menjadi mudarat dan akan berakhir pula secara tragis nanti. Dengan demikian, peranan hukum bagi perjalanan pers yang bebas sekarang ini sungguh sangat penting artinya. Sebab, pers yang tidak diatur oleh hukum akan menjadi liar dan akan memakan korban di tengah-tengah masyarakat.
Karena itu, sebagaimana dikatakan oleh Prof. Oemar Seno Aji, SH, bahwa adalah sangat esensial untuk mengembangkan pengertian hokum tentang pers yang bebas dan bertanggungjawab, yang kesemuanya menjadi tanggungjawab dan kewajiban para penegak hokum. Sedangkan ilmu hokum dan yurisprudensi dapat ikut serta dalam pengembangannya, khususnya jika terdapat gejala bahwa perundang-undangan sendiri tidak menjajarkan diri dengan perkembangan masyarakat.[9]
Jadi, hukum bagi pers benar-benar esensial. Pers tidak bisa dilepaskan dari hukum. Pers yang lepas dari hukum, sama dengan keberadaan seekor harimau di rimba raya. Di samping dia akan menerkam mangsanya, bisa juga dia sendiri yang terkena jerat atau masuk perangkap. Sebuah pers yang hidup tanpa kendali, dia bisa hidup seperti seorang raja pembunuh yang sadis dan bisa juga bangkrut sendiri karena tidak dipercaya oleh pembaca.
Apabila kita perhatikan dari sisi hukum, hukum di negara Indonesia sudah mengatur sedemikian rupa dalam hal pers. Dalam ketentuan-ketentuan hukum pidana yang ada kaitannya dengan media massa, sudah jelas-jelas diatur tentang pers dalam pasal-pasalnya. Dalam pasal 155 ayat (1) dikatakan, “Barang siapa menyiarkan, mempertunjukkan atau menempelkan tulisan atau lukisan di muka umum yang mengandung pernyataan perasaan permusuhan, kebencian atau penghinaan terhadap Pemerintah Indonesia, dengan maksud supaya isinya diketahui atau lebih diketahui oleh umum, diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun enam bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah”.
Di sini jelas-jelas ditegaskan bahwa di dalam menyiarkan sebuah informasi yang bisa menimbulkan rasa permusuhan, kebencian atau penghinaan akan berhadapan dengan hukum dan akan mendapatkan sanksi ancaman hukum cukup berat.
Pada sisi lain, Pers yang meliputi media cetak, media elektronik dan media lainnya pada dasarnya juga merupakan salah satu sarana untuk mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan. Oleh sebab itu, agar pers dapat berfungsi secara maksimal sebagaimana diamanatkan pasal 28 UUD 1945 tersebut, maka perlu dibentuk Undang-undang tentang pers. [10]
Pada dasarnya, esensi kegiatan menulis sebuah berita bagi pekerja pers atau wartawan adalah untuk melaporkan seluk-beluk sebuah peristiwa yang telah, sedang atau aklan terjadi. Melaporkan di sini, artinya adalah menuliskan apa yang dilihat, didengar, atau dialami seseorang atau sekelompok orang. Berita itu ditulis wartawan adalah sebagai rekonstruksi tertulis dari apa yang terjadi. Fenomena ini tidak jauh berbeda dengan laporan untuk media elektronik seperti radio dan televisi.
Menurut Ashadi Siregar dkk, peristiwa perlu diberitakan paling tidak berdasarkan dua alasan, yaitu untuk memenuhi tujuan politik keredaksian suatu media massa atau memenuhi kebutuhan pembaca. [11]
Apabila diperhatikan, dalam Undang-Undang Dasar 1945 sudah jelas-jelas mengatakan pada pasal 28, yakni” Kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan undang-undang. Pada pasal 28 F UUD 1945 dikatakan, “Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia”.
Sebagaimana dinyatakan dalam UUD 1945 di atas, setiap warga negara memiliki hak untuk memperoleh informasi, untuk menyebarkan informasi dan semua itu harus ada aturannya, agar tidak sampai ada hak orang lain terganggu oleh orang-orang yang mempergunakan haknya tersebut.
Dalam hal ini, Undang-undang Hak Asasi Manusia(HAM) telah mengatur sedemikian rupa, sehingga tidak ada seorangpun yang bisa berbuat sewenang-wenang kepada orang lain.
Pada Bab II Asas-Asas Dasar, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Aasasi Manusia dikatakan, “ Negara Republik Indonesia mengakui dan menjunjung tinggi hak asasi manusia dan kebebasan dasar manusia sebagai hak yang secara kodrati melekat padanya dan tidak terpisahkan dari manusia, yang harus dilindungi, dihormati, dan ditegakkan demi peningkatan martabat kemanusiaan, kesejahteraan, kebahagiaan, dan kecerdasan serta keadilan.
Dalam hal ini terbukti bahwa hak asasi manusia itu dijamin sepenuhnya oleh negara, sehingga di sisi penyebaran informasi, baik melalui media massa atau pers , di satu sisi wartawan punya hak untuk memperoleh dan menyebarkan informasi, sebaliknya masyarakat memilik hak untuk tidak dirugikan oleh suatu informasi yang beredar di tengah-tengah masyarakat melalui media massa atau pers tersebut.
Selanjutnya Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 40 Tahun 199 tentang Pers, telah mengatur sedemikian rupa tentang kerja pers di Negara Republik Indonesia. Undang-Undang 40 Tahun 1999 ini merupakan acuan bagi pers dalam melakukan pekerjaannya di tengah-tengah masyarakat. Seperti dikemukakan pasal 2 pada Bab II Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999, “Kemerdekaan pers adalah salah satu wujud kedaulatan rakyat yang berasaskan prinsip-prinsip demokrasi, keadilan, dan supremasi hukum. Pada pasal 3 dikatakan, “ Pers nasional mempunyai fungsi sebagai media informasi, pendidikan, hiburan dan control sosial”. Pasal 5 ayat (1) mengatakan,” Pers nasional berkewajiban memberitakan peristiwa dan opini dengan menghormati norma-norma agama dan rasa kesusilaan masyarakat serta asas praduga tak bersalah”. Ayat (2), menyatakan”, Pers wajib melayani Hak Jawab”. Ayat (3), mengatakan” Pers wajib melayani Hak Koreksi”.
Dengan demikian, secara teoritis, keberadaan pers di Negara Republik Indonesia tidak bisa sewenang-wenang, tetapi harus tunduk dan patuh kepada ketentuan-ketentuan hukum yang ada. Pada intinya, pers harus mampu memberikan kecerdasaan kepada masyarakat, dan bukan sebaliknya membodohi masyarakat melalui penyajian berita-berita yang tidak memiliki fakta dan melalui berita-berita yang tidak mendidik.
Kerangka Konsepsional
Untuk memudahkan pembahasan, berikut ini diuraikan beberapa pengertian konsepsional dari istilah yang dimaksudkan dalam judul usulan penelitian ini, sebagai berikut :
- Peranan adalah langkah kebijakan dan kegiatan yang dilakukan oleh suatu organisasi/badan/orang berdasarkan kedudukannya.
- Pers adalah media persuratkabaran, seperti koran, majalah, tabloid, buletin dan sejenisnya, yang berfungsi untuk menyajikan informsi kepada pembaca.
- Pembangunan, adalah mendirikan sesuatu atau membina sesuatu untuk kemajuan ke arah yang lebih baik dari sebelumnya.
- Perspektif adalah penerapan dari suatu peraturan perundang-undangan di tengah-tengah masyarakat
- e. Undang-undang Negara Republik Indonesia Nomor 40 Tahun 1999, adalah Undang-undang yang mengatur tentang pers di Indonesia.
1.7 Metodologi Penelitian
a. Jenis Pendekatan
Penelitian ini merupakan penelitian hukum dengan dilakukannya dengan pendekatan yuridis normatif komparatif yang didukung oleh penelitian yuridis empiris. Penelitian berbentuk yuridis empiris ini dilakukan dengan cara menginventarisasi hukum positif, melakukan sinkronisasi perundang-undangan secara vertikal dan horizontal, penemuan asas-asas hukum yang terkait dengan pengaturan peran dan fungsi pers dalam pembangunan Kota Padang Panjang.
Sedangkan penelitian Yuridis Empiris, dilakukan untuk melihat bekerjanya hukum dalam masyarakat yang terkait dengan praktek pelaksanaan peran dan fungsi pers dalam pembangunan di Kota Padang Panjang.
Selanjutnya, studi perbandingan juga akan dilakukan dalam penelitian ini (comparatif study), yakni membandingkan ketentuan yang ada sebelumnya, yakni Undang-undang Nomor 21 Tahun 1982 dengan Undang-Undang Negara Republik Indonesia Nomor 40 Tahun 1999 Tentang Pers.
b. Sumber Data
Sumber data dalam penelitian ini, terdiri dari data sekunder dan data primer. Sebagai pendukung data skunder, adalah meliputi :
- Bahan hukum primer, yakni meliputi: Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor XVII/MPR/1998 tentang Hak Azasi Manusia, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Indonesia, Undang-Undang Negara Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 1966 Tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pers sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Negara Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 1967 dan diubah dengan Undang-undang Nomor 21 Tahun 1982, Undang-undang Negara Republik Indonesia Nomor 40 Tahun 1999 Tentang Pers.
- Bahan hukum sekunder, yang terdiri dari buku-buku, karya ilmiah, dan literatur mengenai hukum tata negara umumnya dan hukum tentang peran dan fungsi pers pada khususnya.
- Bahan Hukum Tersier, yakni yang meliputi kamus, ensiklopedi, katalog data primer sebagai pendukung data skunder, yang meliputi hasil wawancara dengan responden yang berkapasitas sebagai pakar dan praktisi di bidang pers, yang berkaitan dengan peranan pers dalam pembangunan umumnya dan peran pers dalam pembangunan di Kota Padang Panjang pada khususnya.
c. Teknik Pengumpulan Data
Data skunder, berupa bahan primer, bahan hukum skunder dan hukum tersier yang berkaitan dengan penelitian ini diperoleh melalui studi dokumentasi (kepustakaan). Sedangkan data primer yang merupakan data pendukung data skunder diperoleh dengan teknik wawancara yang mendalam (depth interview) dan terstruktrur kepada para responden yang merupakan para pakar dan praktisi hukum ketatanegaraan.
d. Analisa dan Penyajian Data
Data yang diperoleh, lalu dianalisis dengan mempergunakan penafsiran hukum dan disajikan dalam bentuk kualitatif.
e.Lokasi Penelitian
Lokasi penelitian adalah pada wilayah Kota Padang Panjang dan pada sejumlah jajaran pers atau yang terkait dengan pers di Provinsii Sumatera Barat.
BAB II
BAB II TINJAUAN TEORITIS DAN HISTORIS
PENYELENGGARAAN PERS INDONESIA
2.1. Tinjauan Teoritis Penyelenggaraan Pers Indonesia
Sesungguhnya penyelenggaraan pers Indonesia merupakan implelementasi dari bentuk penyelenggaraan demokrasi di Indonesia. Sangat erat hubungan penerapan demokrasi di Indonesia dengan penyelenggaraan pers Indonesia di negara ini.
Dapat dibuktikan, ketika Indonesia berada di era penjajahan, Orla, Orba dan reformasi, sungguh sangat terasa perbedaan maju mundurnya penyelenggaraan pers di Indonesia.
Satu hal yang penting dicatat dalam hal ini, liku perpajalanan perkembangan pers Indonesia, sama seperti negara-negara lain di dunia, sangat dipengaruhi oleh perkembangan politik di negara Indonesia.
Ketika perkembangan perpolitikan pada suatu rezim di Negara Republik Indonesia berjalan secara diktator, pers berjalan dalam kondisi terkekang atau nyaris tidak mampu mengenyam rasa kemerdekaan. Pemberitaan pers diawasi penguasa sesuai dengan kepentingan politik penguasa tersebut. Kalau ada pers yang berani membuat pemberitaan yang tidak sejalan dengan kepentingan politik penguasa rezim tersebut, resikonya sangat besar. Antara lain, bisa saja wartawannya ditahan atau malah bisa sampai kepada pencabutan SIUUP media bersangkutan. Namun ketika perkembangan perpolitikan pada suatu rezim berjalan secara demokratis, maka otomatis pers akan menghirup udara bebas dalam menjalankan profesinya.
Sebab, suasana otoriter suatu era kekuasaan pemerintahan dalam suatu negara akan berdampak kepada pengekangan perjalanan kehidupan pers, dan sebaliknya kalau suasana demokratis yang muncul dalam suatu era kekuasaan pemeriuntahan, akan berdampak kepada terciptanya kebebasan dalam suatu perjalanan dunia pers.
Suatu bukti, ketika Indonesia berada di era Orde Baru yang lebih akrab kepemimpinannya dengan nuansa diktator, pers di negeri ini sungguh berada dalam kekangan. Selama kurun waktu era kekuasaan era Orde Baru, tidak sedikit media yang terkena bredel atau pencabutan SIUUP gara-gara mencoba menulis dengan nada mengoreksi kepemimpinan pemerintahan waktu itu.
Namun ketika Indonesia berada di era reformasi mulai tahun 1998, kebebasan pers sungguh sangat terasa di negara Republik Indonesia. Wartawan dalam mencari dan menyiarkan informasi tidak lagi merasa takut terkena sensor sebelum berita naik cetak. Atau, tidak lagi merasa akan dicari atau ditangkap setelah berita diterbitkan.
Penyebab demikian dominannya pengaruh perkembangan perpolitikan dalam sebuah kekuasaan rezim pemerintahan terhadap pers, adalah karena penguasa merasa perlu mengendalikan pers, mengingat pemberitaan pers amat besar pengaruhnya terhadap pembentukan sebuah opini di tengah-tengah masyarakat.
Donal Shaw dan Max McComb yang terkenal dengan teorinya ‘”Agenda Setting”, yakni sebuah teori yang menggamnbarkan isi media berita memiliki pengaruh pada persepsi publik tentang isu-isu penting, menjelaskan bahwa apa yang menjadi pemberitaan sebagai sampul berita di media berita itu akan menjadi agenda publik (khalayak pembaca), dan cara perancangan atau reka bentuk pada sampul berita media tersebut telah menanamkan peranan penting pembentukan opini publik berkenaan dengan apa yang menjadi penting atau tidak penting untuk diberitakan.[12]
Teori yang mengemukakan bahwa pemberitaan media massa sangat berpengaruh terhadap pembentukan opini, telah membuat penguasa dalam suatu rezim pemerintahan suatu negara merasa perlu mengendalikan media massa.
Penguasa dalam rezim apapun selalu akan merasa berkepentingan dengan pemberitaan pers. Di satu sisi, pemberitaan pers bisa membuat citra pemerintahan terangkat dan sebaliknya di sisi lain pemberitaan pers pun dapat pula menghancurkan citra pemerintahan.
Karena itulah, pemerintahan di negara manapun di dunia ini, tidak terkecuali di Negara Republik Indonesia, tidak ada yang tidak merasa berkepentingan dengan pemberitaan pers.
Dengan demikian, dalam rezim apapun juga, pemberitaan pers selalu menjadi perhatian serius baginya. Artinya, pengendalian terhadap pemberitaan pers selalu menjadi titik fokus utama pemerintahan.
2.2.1. Etika Pers Yang Bebas dan
Bertanggungjawab.
Sesuai dengan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 Tentang Pers, pada hakekatnya pers Indonesia merupakan pers yang bebas dan bertanggungjawab. Maksudnya, pers Indonesia dalam melaksanakan profesinya memiliki kebebasan yang dijamin oleh undang-undang. Akan tetapi kebebasan tersebut bukan tanpa batas, tetapi dibatasi oleh tanggungjawab yang melekat pada etika kebebasan pers tersebut, yang disebut dengan etika pers. Etika pers inilah yang membuat setiap insan pers bertanggungjawab terhadap berbagai dampak atau akibat dari profesi jurnalistik yang dijalankannya.
Di antara etika pers yang membuat pers itu bebas dan bertanggungjawab adalah sebagai berikut :
- Hati nurani. Dengan mempergunakan hati nurani, insan pers dalam melaksanakan profesinya akan mampu memilah, mana yang baik dan mana yang buruk, mana yang pantas diberitakan mana yang tidak pantas. Hati nurani akan mampu mengukur batas-batas kewajaran sebuah informasi yang dikemukakan seuah media massa kepada publik.
- 2. Pancasila. Sebagai dasar negara yang digali dari bumi Indonesia sendiri, nilai-nilai yang ada dalam Pancasila merupakan etika yang mampu menjadikan pers sebagai pers yang bebas dan bertanggungjawab.
- 3. Undang-Undang Dasar 1945 Yang Diamendemen. UUD 1945 yang diamendemen, adalah merupakan etika yang harus menjadi etika bagi pers. Sebab pasal demi pasal dalam UUD 45 yang dimaendemen ini
adalah mengandung nilai-nilai moral yang harus dituruti oleh insan pers dalam menjalankan profesinya.
- Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 Tentang Pers. Undang-Undang ini adalah aturan yang menjadi ukuran etika bagi insan pers dalam menjalani profesinya. Dengan ini diharapkan wartawan Indonesia tidak saja sekadar menganut prinsip bebas tetapi sekaligus juga harus bertanggungjawab.
- Kode Etilk Jurnalistik. Kode etik jurnalistik adalah etika yang secara teknis yang harus dipatuhi insan pers dalam melaksanakan tugas profesinya sehari-hari. Pelanggaran seorang wartawan terhadap kode etik jurnalistik, sungguh sangat memalukan karena kode etik jurnalistik adalah etika wartawan sendiri, yang khusus untuk insan pers yang kegunaannya untuk wartawan dalam menjalankan profesinya.
- Kode Etik Wartawan Indonesia(KEWI). Kode Etik Wartawan Indonesia sungguh sebuah rambu-rambu etika wartawan yang harus menjadi pagar pembatas bagi wartawan dalam bertindak sepanjang kegiatannya dalam profesi kewartawanan.
- KUHP. Ketentuan-ketentuan yang ada dalam pasal-pasal KUHP yang berkaitan dengan pers, baik secara langsung maupun tidak langsung, akan mem buat wartawan Indonesia menjadi wartawan yang bebas dan bertanggungjawab. Si pelanggalarnya akan berhadapan dengan hukum, sebagai konsekwensi dari pelanggaran ter5hadap etika pers yang dilakukan seorang insan pers.
2.2.2. Asas-Asas Penyelenggaraan Pers
di Indonesia
Kini sampailah pembahasan kepada asas-asas penyelenggaraan pers di Indonesia. Sebagaimana pada negara-negara lain di dunia, penyelenggaraan pers di Negara Republik Indonesia tidak terlepas dari berbagai ketentuan yang diatur menurut peraturan perundang-undangan yang ada dan berlaku di negara ini.
Namun satu hal yang menjadi garisan dalam penyelenggaraan pers bagi suatu negara dalam upaya menyahuti kepentingan negara tersebut, adalah bagaimana agar asas-asas penyelenggaraan pers di negara tersebut mampu menyahuti kepentingan masyarakat.
Artinya, pemberitaan pers harus mampu menjadi pendorong bagi masyarakat untuk semakin menyadari bahwa peranan mereka dalam membangun bangsanya sangat penting.
Pers tidak hanya hadir semata-mata untuk menikmati kebebasan tanpa mempedulikan kepentingan masyarakat dalam arti luas. Pers harus mempergunakan kebebasannya untuk kepentingan masyarakat sebesar-besarnya.
Khusus untuk negara berkembang seperti Negara Republik Indonesia, pers merupakan hal yang amat penting artinya dalam menumbuhkembangkan gelora semangat [13]masyarakat dalam me[14]mbangun bangsa dan negaranya.
Karena melihat demikian besarnya peranan pers di tengah-tengah masyarakat, Ishadi Sutopo KS mengemukakan, bahwa para cendikiawan di bidang komunikasi kata Ishadi Sutopo KS yakin tentang pentingnya arti media massa bagi modernisasi negara-negara sedang berkembang. Mereka mempercayakan pelbagai tugas pada media dan mendasarkan kesimpulan mereka untuk sebagian besarnya atas studi-studi lapangan perihal tingkah laku dan dampak media. 7
Berkaitan dengan ini, masih melihat kepada kepentingan media massa oleh negara berkembang seperti Negara Republik Indonesia, Lucian W. Pye mengemukakan dalam salah satu tulisannya dengan lebih bersifat filosofis, bahwa kecuali kalau masyarakat luas dapat diperkenalkan pada cara-cara berfikir yang baru dan dituntun untuk menerima sikap-sikap yang baru, maka hanya ada sedikit harapan untuk menciptakan kemajuan yang mantap ke arah pembangunan ekonomi, modernisasi masyarakat dan kedewasaan politik.8
Melalui pendapat-pendapat ini, terlihat bahwa penyelenggaraan pers di Indonesia sebagai negara yang masih tergolong kepada negara berkembang, memerlukan koridor-koridor atau ketentuan-ketentuan yang mampu membangkitkan gelora semangat masyarakat untuk turut serta berpartisipasi dalam pembangunan bangsa dan negara.
Namun ketentuan-ketentuan tersebut bukan dalam arti mengekang kebebasan pers. Malahan sebaliknya, ketentuan-ketentuan itulah yang menjadikan pers Indonesia pers yang bebas dan bertanggungjawab.
Sebab dengan adanya ketentuan-ketentuan, sesuai dengan aturan hukum yang ada, kebebasan pers menjadi semakin terjamin, tidak ada lagi yang bisa mengekang. Sebab kalau ada yang mengekang, dia bisa dikategorikan melakukan hal melawan hukum.
Secara teoiritis dapat dikatakan, bahwa pers yang bebas itu bukanlah pers yang tidak berjalan dengan tidak ada aturan. Tetapi sebaliknya pers yang bebas itu adalah pers yang berjalan dengan aturan hukum yang jelas, yang tidak bisa aturan itu diubah sembarangan saja oleh pihak manapun juga, baik oleh pihak penguasa ataupun oleh pihak pers sendiri.
Pers yang berjalan dengan aturan yang jelas, haruslah memiliki asas-asas yang jelas pula, yang bisa dituruti oleh penyelengara pers, sehingga dia tidak berat ke kiri atau ke kanan.
Sebab apabila pers tidak memiliki asas-asas yang jelas, atau apabila penyelenggara pers tidak mau menuruti asas-asasnya, dikhawatirkan pers akan mudah dimanfaatkan berbagai pihak untuk kepentingannya. Misalnya, pers yang tidak memiliki asas atau pers yang tidak memiliki aturan dalam menjalani profesinya, dia akan mudah dimanfaatlkan penguasa untuk kepentingan politiknya atau bisa juga dimanfaatkan orang-orang yang tidak ingin negara ini berjalan dengan baik.
Asas penyelenggaraan pers di Indonesia dapat dilihat dalam berbagai peraturan perundang-undangan yang dimiliki Negara Republik Indonesia karena dasar ataupun tujuan penyelenggaraan pers di Indonesia ada dalam peraturan perundang-undangan tersebut. Antara lain dapat dilihat di sini, sebagai berikut :
1) Praduga tak bersalah. Penyelenggaraan pers di Indonesia berasaskan kepada praduga tak bersalah. Dengan asas praduga tak bersalah, pers dalam memberitakan tentang keterliatan seseorang atau sekelompok orang dan sejenisnya dalam suatu tindakan kejahatan, tidak bisa langsung menvonis. Yang berhak menvonis seseorang, sekelompok orang atau sejenisnya bersalah adalah hakim di pengadilan. Selagi dalam proses hukum, pers hanya bisa memberitakan bahwa yang bersangkutan diduga bersalah.
Apabila sempat pers menvonis seseorang sebagai pelaku pencurian karena mungkin disebabkan dia melihat sendiri atau karena disampaikan oleh sumber yang nyata-nyata telah melihat yang bersangkutan melakukan pencurian melalui pemberitaan pers, kalau nanti hakim memutuskan lain, seperti membebaskan yang bersangkutan karena tidak terbukti bersalah, atau karena sebenarnya bukan dia karena berbagai alasan lainnya yang diterima hakim, dapat dibayangkan betapa pers telah membuat nama baik seseorang tercemar. Jadi, pers tidak berhak menghakimi seseorang, apakah dia bersalah atau tidak. Karena itu, apapun alasannya, pers harus memegang teguh prinsip asas praduga tak bersalah. Pers hanya dalam kapasitas memberitakan hasil putusan dan bukan punya kewenangan membuat putusan sekaligus memberitakan.
2) Kecerdasan. Penyelenggaraan pers tidak bisa dilepeskan dari kecerdasan. Pers sebagai pihak yang punya tugas menyampaikan informasi kepada masyarakat, sudah barang tentu pers memegang peranan penting dalam hal mencerdaskan masyarakat.
Sebab dengan banyaknya masyarakat mengetahui sesuatu melalui media massa, baik cetak maupun elektronik akibat dsari penyelenggaraan pers, maka masyarakat akan cerdas akibat pers.
Dengan demikian, pers punya peranan penting dalam mencerdaskan kehidupan bangsa. Masyarakat pun punya hak untuk mendapatkan pencerdasan ini. Karena itu, asas pencerdasan merupakan salah satu asas dariu penyelenggaraan pers.
Hal ini dapat dilihat pada Undang-undang Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 1999, Tentang Hak Asasi Manusia, pada Bab II Asas-Asas Dasar, Pasal 2, menyatakan: Negara Republik Indonesia mengakui dan menjunjung tinggi hak asasi manusia dan kebebasan dasar manusia sebagai hak yang secara kodrati melekat pada dan tidak terpisahkan dari manusia, yang harus dilindungi, dihormati, dan ditegakkan demi peningkatan martabat kemanusiaan, kesejahteraan, kebahagiaan, dan kecerdasan serta keadilan.
Selanjutnya dalam undang-undang ini, pada Bab III, Hak Asasi Manusia Dan Kebebasan Dasar Manusia, Bagian Kelima, Hak Kebebasan Pribadi, pasal 23, ayat(2) dikatakan dengan tegas: Setiap orang bebas mempunyai, mengeluarkan dan menyebarluaskan pendapat sesuai hati nuraninya, secara lisan dan atau tulisan melalui media cetak maupun elektronik dengan memperhatikan nilai-nilai agama, kesusilaan, ketertiban, kepentingan umum, dan keutuhan bangsa.
3) Keterbukaan. Keterbukaan merupakan asas penyelenggaraan pers di Indonesia. Dengan keterbukaan ini, masyarakat memiliki hak untuk memperoleh informasi publik.
Dan dengan keterbukaan ini pula, pers memiliki tujuan yang jelas dalam menjalankan profesinya, yakni untuk memberitahukan informasi kepada publik atau masyarakat secara terbuka.
Hal ini bisa dilihat dalam Undang-undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2008, Bab III tentang Hak Dan Kewajiban Pemohon Dan Pengguna Informasi Publik Serta Hak Dan Kewajiban Badan Publik, Bagian Ke4satu tentang Hak Pemohon Informasi Publik, pasal 4, yang menyatakan: ayat (1) Setiap orang berhak memperoleh informasi publik sesuai dengan ketentuan Undang-Undang ini. Ayat (2) Setiap Orang berhak:
- melihat dan mengetahui Informasi Publik.
- Menghadiri pertemuan publik yang terbukauntuk umum untuk memperoleh Informasi Publik.
- Mendapatkan salinan Informasi Publik melalui permohonan sesuai dengan Undang-Undang ini; dan/atau
- Menyebarluaskan Informasi Publik sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
2.2. Tinjauan Historis Penyelenggaraan Pers
di Indonesia
2.3.1. Perkembangan Penyelenggaraan
Pers di Indonesia Pada era
Sebelum Merdeka
2.3.1.1. Pers di Era Penjajahan
Belanda
2.3.1.2. Pers di Era Penjajahan
Jepang
2.3.2. Penyelenggaraan Pers di Indonesia
Pada era Kemerdekaan
2.3.2.1. Pers di era Orde Lama
2.3.2.2. Pers di era Orde Baru
2.3.2.3. Pers di era Reformasi
BAB III. PENGATURAN PENYELENGGARAAN
PERS DALAM MELAKSANAKAN
FUNGSINYA DI NEGARA REPUBLIK
INDONESIA
3.2.1. Pers Indonesia Dalam Melaksanakan Fungsainya Sebagai Sosial Kontrol
3.2.2. Pers Indonesia Dalam Melaksanakan Fungsinya Sebagai Media Pendidikan
3.2.3. Pers Indonesia Dalam Melaksanakan Fungsinya Sebagai Media Hiburan
3.2.4. Pers Indonesia Dalam Melaksanaan Fungsinya Sebagai Pengemban prinsip Idealis
3.2.5. Pers Indonesia Dalam Melaksanakan Fungsinya Dalam Bentuk Bisnis
BAB IV TINJAUAN TENTANG PERANAN PERS
DALAM PEMBANGUNAN DI INDONESIA
INDONESIA.
4.1. Peranan Pers Dalam Pembangunan
Nasional
4.2. Peranan Pers Dalam Pembangunan di
Daerah Otonom(Kabupaten/Kota)
4.2.1. Peranan Pers Dalam Pembangunan
di Daerah Kabupaten/Kota Pada Era
Orde Lama dan Orde Baru
4.2.2. Peranan Pers Dalam Pembangunan
di Daerah Kabupaten/Kota Pada era
Reformasi
BAB V PERANAN PERS DALAM
PEMBANGUNAN KOTA PADANG
PANJANG DILIHAT DARI
PERSPEKTIF UNDANG-UNDANG
NOMOR 40 TAHUN 1999
5.1. Penyelenggaraan Fungsi Pers Dalam
Pembangunan Kota Padang Panjang
Dilihat Dari Perspektif Undang-Undang
Nomor 40 Tahun 1999
5.1.2. Dilema Penerapan Undang-Undang
Nomor 40 Tahun 1999
5.1.3. Pengaruh Kebebasan Pers Dalam
Gerak Pembangunan Kota Padang
Panjang
5.1.4. Pengaruh Otonomi Daerah dan
Kebebasan Pers Dalam Pembangunan
Kota Padang Panjang.
5.1.5. Kesiapan Masyarakat Padang Panjang
Menyikapi Pemberitaan Pers
Dikaitkan Dengan Lahirnya Undang-
Undang Nomor 40 Tahun 1999
5.1.6. Kesiapan Wartawan Dalam
Menyikapi Penerapan Undang-
Undang Nomor 40 Tahun 1999
Dikaitkan Dengan Gerak Langkah
Pembangunan Kota Padang Panjang
5.2. Beberapa Dilema Yang Timbul di Tengah
Masyarakat Kota Padang Panjang Akibat
Kebebasan Pers dan Otonomi Daerah
5.2.1. Pengaruh Tingkat Kecerdasan
Masyarakat Dalam Menyikapi
Pemberitaan Pers Dilihat Dari Perspektif
Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999
5.2.2. Pengaruh Tingkat Kemampuan
Wartawan Dalam Menjalankan Fungsi
Pers-nya Dilihat Dari Perspektif
Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 5.2.3. Pengaruh Kesiapan Birokrasi Dalam
Menyikapi Pemberitaan Pers Dilihat
Dari Perspektif Undang-Undang Nomor
40 Tahun 1999
5.2.4. Nilai Positif dan Negatif Terhadap
Pembangunan Kota Padang Panjang
Dengan Lahirnya Undang-Undang
Nomor 40 Tahun 1999
BAB VI PENUTUP
6.1. Kesimpulan
6.2. Saran-Saran
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Gafur, Hari–hari Terakhir Seorang Presiden, Pustaka Sinar Harapan,
Jakarta, 2000
Abdul Rahman Wahid, Melawan Melalui Lelucon, Tempo, Jakarta, 2000
Ahmad Watik Praktiknya dkk, Pandangan dan Langkah Reformasi B.J.
Habibie, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta, 1999
Ashadi Siregar dkk, Bagaimana Meliput dan Menulis Berita Untuk Media
Massa, Penerbit Kanisius, Yogyakarta, 1998
Don Michael Flournoy(Ed.), Analisa Isi Suratkabar-Suratkabar Indonesia, Gadjah Mada University Press, 1989
Fachry Ali, Esai Politik Tentang Habibie Iptek dan Transpormasi Kekuasaan,
Balai Pustaka, Jakarta, 1999
F. Rachmadi, Perbandingan Sistem Pers, PT. Gramedia, Jakarta, 1990
Hasan Shadily dkk, Ensiklopedi Indonesia, Jilid 3, PT. Ikhtiar Baru-Van Hoeve
dan Elsevier Publishing Projects, Jakarta, 1989
Hasan Shadily dkk, Ensiklopedi Indonesia, Jilid 7, PT. Ikhtiar Baru-Van hoeve
dan Elsevier Publishing Project, Jakarta, 1987
Indrawan WS, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia, Lintas Media, Jombang
Ismail Suny, Mencari Keadilan, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1981
Ismail Suny, Pergeseran Kekuasaan Eksekutif Suatu Penyelidikan Hukum
Tata Negara, Aksara Baru, Jakarta, 1986
Larrry King, Seni Berbicara Kepada Siapa Saja, Kapan Saja, Di mana Saja,
PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2006
Legiman Misdiyono, Misteri Operasi Intelijen,Indomedia Publishing,
Jakarta, 2007
Manfred Oepen, Media Rakyat Komunikasi Pengembangan Masyarakat,
P3M, Jakarta, 1988
Moh. Mahfud MD, Demokrasi dan Konstitusi di Indonesia. Studi Tentang
Interaksi Politik dan Kehidupan Ketetanegaraan, Rineka Cipta,
Jakarta, 2003
Mohammad Hatta, Alam Pikiran Yunani, Tintamas, Jakarta, 1986
Nurhuda Adinur dkk, Perhumas Dalam Warna Menyusun Strategi,
Membangun Korporasi & Menjaga Reputasi, BPP perhumas Bidang
Komunikasi, Jakarta, 2004
Prasetyohadi, Keadilan Dalam Masa Transisi, Komisi Nasional Hak Asasi
Manusia, Jakarta, 2001
S.L. Roy, Diplomasi, Rajawali Pers, Jakarta, 1991
Sudirman Tebba, Hukum Media Massa Nasional, Pustaka irVan, Ciputat,
2006
Wina Armada, S.A, Wajah Hukum Pidana Pers, Pustaka Kartini, Jakarta,
1989
Vera Jasini Putri, Kamus Hukum Otonomi Daerah, Friedrich-Naumann-
Stiflung(FNSt), Jakarta, 2003
Yurnaldi, Menjadi Wartawan Hebat, Citra Budaya Indonesia, Padang,
2004
Peraturan Perundang-Undangan
Undang-Undang Dasar 1945 dan Perubahannya
Ketetapan MPR Nomor XVII/MPR/1998 Tentang Hak Azasi Manusia
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1966 Tentang Ketentuan-Ketentuan
Pokok Pers
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1967 Tentang Ketentuan-Ketentuan
Pokok Pers
Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1982 Tentang Ketentuan-ketentuan
Pokok Pers
Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 Tentang Pers
Unang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 Tentang Keterbukaan Informasi
Publik
[7] Prof. Dr. Moh. Mahfud MD, S.H. S.U.. Demokrasi dan Konstitusi di Indonesia. Studi Tentang Interaksi Politik dan Kehidupan Ketatanegaraan”, Rineka Cipta, 2001. hlm. 19
[8] Abdul Gafur, Hari-hari Terakhir Seorang Presiden, Pustaka Sinar Harapan, 2000, hlm 6
[9] Wina Armada, S.A, SH, Pendahuluan oleh Prof. Oemar Seni Aji, SH, Wajah Hukum Pidana Pers, Pustaka Kartini, 1989, hlm 12.
[10] Kata Pengantar Undang-undang Republik Indonesia Nomor 40 Tahun 1999 Tentang Pers, Departemen Penerangan RI, 1999
[11] Ashadi Siregar dkk, Bagaimana Meliput, penerbit Kanisius, 1998, hlm 19
[12] Nurhuda Adinur DKK, Perhumas Dalam Warna, BPP Perhumas Bidang Komunikasi, Jakarta 2004, hlm. 127.
7. Don Michael Flournoy(Ed.), Analisa Isi Surat Kabar – Surat Kabar Indonesia, Gadjah Mada University Press, 1989, hlm.65.
8 Idem.
Filed under: 1 | Leave a comment »